Followers

Jumat, 30 Juli 2010

Biarlah Aku Memelukmu Lagi (part 2)

Aku terlalu sibuk untuk sekedar memeluknya. Dia yang selalu memelukku. Aku tak pernah membalas pelukannya karena aku pikir rasa cintaku kepadanya saja sudah cukup lebih dan tak perlu dibahasakan dengan suatu pelukan sayang sekalipun.

Pikiranku menerawang jauh...

Pagi itu, seperti biasa, aku bersiap-siap untuk bekerja. Istriku pun sudah menyiapkan sarapan untukku.

Selesai sarapan aku langsung berjalan menuju halte bus. Halte itu terletak di seberang jalan yang mengharuskan aku menyeberang jalan terlebih dahulu. Saat lampu merah menyala, aku berjalan menyeberangi jalan. Tiba-tiba tanganku ditarik. Aku menoleh ke belakang. Betapa kagetnya aku, ternyata istriku yang menarik tanganku. Kami terdiam di tengah jalan itu. Aku memandangnya dengan heran.

“Peluklah aku.” Kata istriku memecah pandanganku. Aku masih diam.

“Peluklah aku!” suara istriku semakin meninggi.

Aku melihat sekelilingku, semua orang memandang kamu dengan tatapan heran, sinis, dan takjub. Mungkin mereka merasa aneh dengan keberadaan kami berdua di tengah jalan yang terdiam saling pandang. Mirip adegan sinetron.

Aku memandang mata istriku. Begitu lamanya kah aku tidak pernah memeluknya sehingga aku harus memeluknya di tengah jalan seperti ini?

Aku memeluk istriku.

Aku peluk dia dengan cepat agar tak ada lagi yang memerhatikan kami dan menganggap kami adalah pasangan gila yang berpelukan di tengah jalan.

Lampu kuning.

Lampu hijau pun menyala.

“Tin... tin...” suara klakson mobil berbunyi mengisyaratkan agar kami segera minggir dari tengah jalan itu. Aku cepat-cepat menyeberang. Istriku tertinggal di belakang. Saat telah sampai di seberang, aku menengok ke belakang. Ada bus melaju dengan kecepatan tinggi menuju arah istriku yang masih kesusahan menyeberang jalan. Melihat situasi itu aku berlari berbalik arah menuju istriku menembus jalanan ramai itu dan menarik istriku.

“BRAK...!”

Hitam. Semua pandanganku berubah jadi hitam. Aku merasa lelah dan lemah sekali. Aku pun tertidur sampai hari ini.

Aku membuka mataku, kini aku ingat aku ini apa. Aku yang sekarang adalah roh. Nyawa diriku sendiri yang keluar dari badanku dan tak bisa mausk lagi ke badanku sendiri.

“AAAAAAAAAAAAA....!!!!” aku berteriak kencang sekali meluapkan kesedihanku. Aku menagis terisak tak karuan. Aku ingin kembali ke tubuhku Tuhan, aku belum ingin dan belum siap mati, Tuhan. Aku mohon kembalikan aku ke dalam tubuhku. Aku ingin bangun dan memperbaiki kesalahanku dengan istriku. Aku sangat mencintainya Tuhan. Aku masih ingin memeluk dia. Aku akan memeluk dia, menganggap ia adalah nyawaku...

Tiba-tiba badanku yang terbaring di atas kasur bersinar. Aku kaget melihat tubuhku mengeluarkan sinar putih. Aku berjalan mendekati tubuhku. Aku memegang tanganku. Ajaib, terasa hangat. Aku tersenyum. Lalu aku berbaring di atas tubuhku. Berhasil! Aku berhasil masuk ke dalam tubuhku lagi.

Aku membuka mataku. Kulihat wajah istriku di depan wajahku. Ia tersenyum dan menangis. Ia menangis lagi. Aku memeluknya dengan erat. Aku tak mau melepas pelukanku. Aku takut tak bisa memeluknya lagi. Aku takut tak akan bisa merasakan hangat pelukannya lagi.

Terimakasih Tuhan...
Aku akan memeluknya sampai aku menutup mataku untuk selamanya...

Tamat

Biarlah Aku Memelukmu Lagi

Aku terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit. Tempat tidur yang tak kurasa hangat sama sekali. Meskipun aku sudah memakai baju hangat dan selimut tebal dengan bau khas rumah sakit, aku tetap merasa dingin. Mataku terpejam, tapi aku bisa merasakan dan mendengar suara-suara orang-orang yang berbicara, melantunkan doa, dan tangisan. Tunggu, aku tahu suara tangisan itu siapa itu. Suara yang lemah, parau dan terdengar menyakitkan. Istriku. Ya benar, tak salah lagi itu pasti suara istriku. Istriku sayang, kenapa kau menangis? Aku ada di sini sayang, tepat di depanmu. Aku berusaha memegang istriku, tapi gagal. Istriku tak tersentuh, dan ia tetap menangis.

Ya Tuhan, ada apa denganku? Mengapa aku tak bisa menyentuh orang yang kucintai?

Aku berdiri di sudut ruangan berusaha memegang benda-benda yang ada di sekitarku. Aku berusaha menjatuhkannya untuk membuat suara, tapi gagal. Aku tertunduk dan merapat sampai akhirnya aku jatuh terduduk. Aku menangis. Ya, aku menangis. Hal yang tak pernah aku lakukan sebelumnya, apalagi di depan istriku.

Hari demi hari aku lewati di rumah sakit. Setiap hari aku melihat tubuhku yang terbaring di atas tempat tidur. Aku ingin kembali ke dalam tubuhku. Tapi saat aku mencoba masuk, aku seakan ditolak oleh tubuhku sendiri. Berulang kali ku mencoba tapi selalu gagal. Aku gagal masuk ke dalam tubuhku sendiri.

Ingin rasanya aku mencakar tubuhku sendiri, tapi tentu saja tak bisa. Aku tetap sendirian di sini.

Aku tak tahu makhluk apakah aku ini. Berwujud tapi tak seorangpun dapat melihatku. Aku bisa berbicara dan mendengar, tapi orang lain tak pula dapat mendengarku. Bahkan aku bisa menangis. Tangisan pilu yang tak ada seorangpun tahu kalau aku menangis. Meskipun di satu sisi aku senang juga karena tak ada seorangpun yang tahu aku menangis. Karena aku tak ingin terlihat lemah dengan tangisanku.

“Kreeeek...” suara pintu terbuka. Pukul 10.00, aku yakin itu pasti istriku yang datang. Benar saja, istriku datang membawa semangkuk bubur ayam yang hangat. Ia duduk di kursi yang menghadap ke arah tempat tidur lalu membuka tutup mangkuk itu. Ia menyendokkan sesuap bubur dan menyuapkannya ke arah mulutku. Bibirku tertutup rapat.

“Sayang, kau belum sarapan kan? Ayo makanlah dulu bubur ini.” Istriku menodongkan sendok bubur itu ke mulutku. Namun aku diam, mulutku tetap tertutup rapat.

Lama sekali tangan istriku diam mematung dengan sendok buburnya di depan mulutku. Kulihat ia menangis. Air matanya jatuh setetes demi setetes masuk ke dalam bubur itu. Matanya sembab, buburnya telah berair. Istriku menurunkan tangannya dari mulutku. Dengan matanya yang masih mengeluarkan air mata. Ia terus memandangku. Tatapannya sendu sekali seolah banyak beban yang dirasakannya. Ia memegang tanganku dengan erat dan menciumnya. Hangat sekali, seolah aku bisa merasakan hangat ciumannya di tanganku.

Aku berdiri di belakangnya, berusaha memegang rambutnya dan mengelusnya. Aku peluk dia dari belakang saat ia berdiri. Tak tersentuh. Aku merasa sakit sekali. Aku memegang dadaku. Sungguh sakit rasanya tak bisa memeluk istriku sendiri. Lagi-lagi aku menangis. Tuhan...

Aku lelah seperti ini. Kenapa kau beri aku keadaan seperti ini Tuhan? Aku tak sanggup, sungguh aku tak sanggup melihat istriku setiap hari menangis untukku. Kembalikkan aku ke tubuhku Tuhan! Tolong kembalikan aku! Aku ingin memeluk istriku lagi untuk kedua kalinya...

Kedua kalinya? Tunggu sebentar. Apakah aku pernah memeluknya?

Aku ingat-ingat dulu... kapan terakhir kali aku memeluknya?


Bersambung...

Minggu, 25 Juli 2010

Simpul Dasi

Dasi hitam tak berujung
Panjang lelah ia tergulung lesu
Lesu tak ketemu titik lemahnya
Pun ia terikat di simpul atasnya

Simpul dasi itu menguat seakan tak ingin lepas
Setiap gulungan itu semakin kuat rasanya
Ah ada apa ini, dasi ini sungguh menyakitkan
Tolong leher saya...

Simpul ini terlalu kuat lah ikatannya
Sakit sekali merah dibuatnya
Dasi ini benar-benar tak tahu keadaanku
Aku yang tak lagi berbadan...

Dasi jahat
Dasi kejam
Dasi semena-mena
yang membiarkanku berjalan terus sambil menenteng kepala berdasiku

Dia (Part 6)

Tiba - tiba HP ku berdering. Kulihat nama TINA tertera di layar HP ku.
"Halo... Iya, Tin. Ada apa?" Aku bertanya heran.
"Gimana itu tamu yang tadi? Lo di RS kan sama dia?" Tanya Tina.
"Iya, ini gu di RS sama dia. Tapi gue belum tau keadaan dia. Dia masih di IGD. Eh, gue minta tolong dong?"
"Apa?" Sahut Tina.
"Lo masih di hotel kan? Coba deh cek data tamu kamar 206 itu. Siapa sih namanya?"
"AH! Jadi selama ini lo gak tau namanya siapa? Gue udah sampai rumah.. Sori gak bisa bantu sekarang, nanti siang deh ya. ok?" Jawab Tina.
"Oke deh!Sekarang NN aja dulu namanya deh. Makasih yaa....."

Tina menutup telepon. Perasaanku tak menentu, ku kembali menghampiri meja administrasi.
"Mbak, saya baru bisa kasih datanya nanti siang. Sekarang nama pasiennya NN aja bisa? Soal jaminan pakai nama saya aja ya? ini KTP saya." Sambil menyerahkan KTP ku.
"Baik, silahkan ditunggu mas."

Di salah satu lorong sepi di rumah sakit itu, aku menunggu. Menunggu dokter menangani dia. Benar - benar hari yang melelahkan sekaligus tidak menyenangkan. Betapa tidak, kehadiran dia yang beberapa bulan kebelakang memberi warna baru dalam hidupku ternyata bisa berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui ku hari ini, mungkin untuk seterusnya. Apakah dia akan baik - baik saja? Siapakah laki - laki yang tega melakukan ini padanya? Siapakah sebenarnya Dia? Semua pertanyaan itu lalu lalang di kepalaku. Namun, tersiarat setitik harapan bahwa dia akan baik - baik saja. Bahwa aku akan punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh, merawatnya dan akhirnya punya kesempatan untuk menjawab semua pertanyaanku tadi. Di lorong sepi itu pun aku terlelap.

"Ehm.. Permisi Pak!" Suara dokter membangunkanku. Rupanya ia sudah keluar dari UGD.
"Eh, iya Dok! Maaf. Bagaimana keadaan pasiennya, Dok?" Tanyaku khawatir.
"Baik, untungnya tidak ada luka serius. Namun pasien mengalami pendarahn akibat luka di sekujur tubuhnya. Sekarang sudah bisa dipindahkan ke Ruang Perawatan. Namun pasien belum sadar." Dokter menjelaskan.
"Baiklah, Dok! Terima kasih banyak"
"Sama - sama." Dokter itu berlalu.

Aku lega. Syukurlah dia baik - baik saja. Aku bahagia. Karena harapanku semakin dekat untuk menjadi kenyataan. Semakin bisa kulihat jelas. Aku bergegas menuju Ruang Perawatan Dia. Dia baru saja tiba di kamar itu. Masih ada beberapa perawat yang menyiapkan ruangan tersebut

"Maaf Mas, keluarganya?" Tanya salah seorang perawat kepadaku.
"Bukan, tapi saya yang bawa dia kesini. Ada apa Mas?" Tanyaku heran.
"Dokter berpesan, pasien ini tidak boleh dikunjungi dulu karena butuh istirahat total sampai besok pagi." Perawat itu menjelaskan sambil mencegahku masuk.
"Oh, Oke. Saya pulang saja. Terima kasih ya, Mas!"

Meskipun kecewa, aku tetap pulang dengan senyuman.
"Semoga dia cepat siuman." Aku berdoa di dalam hati. Pagi2 buta, aku sampai di kontrakan dan beristirahat.

Sore harinya, aku kembali ke hotel untuk menemui Tina dan menagih janjinya.
"Dan!" Teriak Tina dari balik meja resepsionis.
"Eh! Baru dtg lo Tin?" Aku menghampiri Tina.
"Gak juga sih,udah 1 jam gue disini. Gue dateng cepet karena gue pikir bisa nyari dulu data yang lo minta tadi malam dulu. Tapi..."
"Tapi apa?" Tanyaku penasaran.
"Tapi gue lupa, hari ini server hotel maintenance dan semua database ditutup untuk pengecekan. Persiapan Akhir tahun" Tina menjelaskan.


Bersambung...

Dia (Part 5)

Malam pun semakin mendekati pagi, aku bisa merasakan kantuk sudah menggelantungi mataku. Namun dalam hati ini ada bisikan yang menahan ku untuk tetap terjaga. Kedatangan dia malam tadi benar – benar janggal. Momen itu tak bias lepas dari rekam ingatanku. Setelah memantapkan hati, aku memutuskan untuk naik ke kamar tempat dia menginap untuk mengetahui keadaaan dan mengobati rasa khawatirku.

Ukiran besi berwarna emas bertuliskan “206” itu akhirnya ada di hadapanku. Meskipun samar – samar, dari celah pintu aku mengintip. Ternyata ruangan itu gelap gulita. Tak ada satupun lampu di dalam kamar yang menyala. Gemetar namun penuh keyakinan perlahan ku raih gagang pintu berusaha membukanya. Ternyata tidak terkunci. Begitu pintu itu terbuka, tercium bau amis darah yang sangat menyengat. Dengan susah payah, ku cari saklar lampu. Betapa terkejutnya aku, ketika kulihat dia tergeletak diatas kasur dengan bersimbah darah dan barang – barang berserakan. Meskipun hanya melihat di TV, aku langsung mengecek denyut nadinya. Lemah. Dia sekarat. Bergegas ku cari pesawat telp untuk memanggil staff yang lain.

“Tina! Ini Dani! Tolong dong kirim orang nih ke kamar 206... ada tamu yang sekarat nih.”
“Ah yg bener, dan?! Jangan bercanda ah!” Tina tidak percaya.
“Iya! Buat apa sih gue bercanda jam segini. Ga ada untungnya tau! Tolong ya cepat! Oh ya! Hubungi ambulans juga ya.” Aku mengakhiri pembicaraan.

Apa yang terjadi dengan dia? Mengapa sampai begini? Apakah pria tadi berniat membunuhnya? Ah! Benar – benar malam yang penuh pertanyaan. Tak lama kemudian Tina, Bapak Yoga, manager kami dan beberapa rekan Room Boy tiba. Kami memutuskan untuk membawa dia ke rumah sakit. Aku memutuskan untuk ikut menemani dia.

Perjalanan ke rumah sakit kami tempuh hanya dalam 10 menit karena kondisi jalan yang sangat sepi. Para petugas jaga IGD dan ambulans langsung membawa dia ke ruang IGD. Sedangkan aku menuju meja administrasi.

“Selamat malam mbak, saya mau daftarkan pasien”
“Oh! Yang barusan datang ya mas?”
“Iya mbak, tapi saya bukan keluarganya. Dia tamu hotel tempat saya bekerja.” Tanyaku khawatir tentang administrasi dia.
“Gak apa – apa mas, yang penting ada data aja dulu.” Jawab suster menenangkanku.
“Oh begitu ya mbak, oke deh. Nanti saya lengkapi datanya dari hotel ya mbak?” Tanyaku.
“Bisa, tapi sekarang boleh saya tau nama mas dan pasiennya?”

Pertanyaan suster barusan mengagetkanku. Berbulan – bulan aku tak pernah berani menanyakan nama dia. Dan sekarang aku tak bisa membantu dia hanya karena tidak tau nama dia.

“Saya Dani Darmawan, pasiennya......” Jawabku ragu.
“Siapa mas nama pasiennya?”

Bersambung...

Dia (Part 4)

"Dan, ngapain sih? Kok dari tadi tamu favorit lo itu dateng tapi lo malah diem - diem aja gitu???" tanya Andri yg semenjak tadi ternyata memperhatikanku.
"Eh, gak! Ga ada apa - apa! Ke parkiran basement yok! Gue pengen ngerokok nih!"
Kami pun menuju parkiran basement, tempat aku menemukan dia pingsan karena mabuk berat.
"Lo liat gak tadi laki - laki yang sama tamu favorit gue check in??"
"Yang biasa check in di 206 maksud lo dan? Liat gw! Serem ya, itu suami atau body guard ya?? Gede gitu!"
"Justru gue mau tanya sama lo. Kira - kira itu siapa ya?" timpalku.
Kami berdua pun terdiam karena tidak menemukan jawaban atas pertanyaan bersama barusan. Tak terasa waktu berlalu cukup cepat, sudah lebih dari tuga batang rokok yang masing- masing dari kami sudah habiskan. Kami pun kembali ke pantry.

Aku melanjutkan pekerjaanku berusaha mengalihkan pikiran dari pertanyaan siapakah laki - laki yang bersama dia tadi. Memang itu benar - benar bukan urusanku yang bukan siapa - siapa untuk dia. Namun, ada sesuatu yang kulihat dari sikapnya tadi, bahasa tubuhnya yang menunjukkan kesedihan bahkan ketakutan yang membuatku tak bisa lepaskan dia dari pikiranku. Dalam lubuk hati aku hanya bisa berharap esok pagi kami akan berbincang lagi dan aku bisa bertanya kepada dia.

Jam tanganku menunjukkan jam 12 malam dan rokok di kantong celanaku telah habis, aku memutuskan untuk pergi keluar hotel dan membeli sebungkus rokok di warung seberang jalan.
Aku memutuskan untuk menghabiskan dua batang rokok yang kubeli di warung itu karena tak ada pekerjaan menungguku dan Andri pun telah pulang karena besok shift pagi. Dari kejauhan kulihat sesosok pria keluar dari lobby hotel dan menuju kemari.
"Bang, mild satu bungkus!" pria itu berkata dengan nada gugup dan terburu - buru.
"Makasih!" pria itu bergegas pergi.

Aku terkejut ketika aku mengetahui bahwa pria tadi adalah pria yg sama yang datang bersama dia. Karena penasaran aku memutuskan untuk mengikuti pria itu, karena aku merasakan ada yang tidak beres dengan gelagatnya. Ternyata benar, pria itu tidak kembali ke kamar 206 tetapi menuju parkiran dan meninggalkan hotel dengan mobil dia. Aku bergegas ke lobby.

"Tin, itu kamar 206 udah check out?" Tanyaku penasaran pada Tina.
"Sebentar..."
"Belom Dan,emang kenapa??"
"Gak, tanya aja"

Semakin resah hati ini dengan pertanyaan - pertanyaan yang benar - benar membuatku bingung, ada apa sebenarnya antara dia dan pria itu.

Bersambung...

Dahlia dan Arjuna (Part 2)

Tak kusangka, mereka menghampiriku. Aku terhenyak, tak mengerti apa yang terjadi. Lalu salah satu dari mereka berkata. “Kau harus mati! Kau adalah aib bagi desa kami, telah bertahun-tahun kami menahan malu dengan adanya dirimu disini”. Aku terdiam tak mampu berkata apa-apa,karena aku sadar betapa hinanya aku. Keberadaanku yang tak pernah bisa membawa kebaikan untuk mereka disekitarku. Aku berpasrah menyerahkan diri pada mereka yang siap membakar habis tubuhku.

“Tunggu! Dahlia tak tahu apa-apa! Dia tak berdosa! Tolong jangan sakiti dia…” Arjunaku datang dan membelaku. Namun keberingasan gerombolan warga tak mampu terbendung oleh kata-kata Arjuna ku. “CUKUP! Jangan diteruskan!” aku berteriak lirih sambil menangis melihat Arjuna bertengkar hebat dengan para gerombolan itu. Dengan sadisnya mereka menghajar Arjuna ku tanpa ampun karena membelaku.

Tak sanggup aku melihatnya, namun tak kuasa diri ini membantu, apalagi melawan. Rasa bersalah dan pasrahku telah memenjarakan tubuh ini dalam penjara penyesalan.
Kini, Arjuna tersungkur bersimbah darah di hadapanku. Kami berdua tak berdaya ketika gerombolan warga dengan membabi buta menghantamkan batu dan kayu ke tubuh kami berdua. Aku merintih, meronta kesakitan. Tapi yang lebih menyiksaku adalah, melihat Arjuna yang sudah di ujung nafasnya. Aku tak sanggup…aku tak sanggup melihatmu begini Arjuna…
Arjuna diikatkan bersamaku. Aku bisa mendengarnya meringis kesakitan meregang nyawa. Betapa suara itu membunuhku perlahan lahan.

“BAKAAAARR!!!!” Suara itu menggetarkan udara malam yang tipis. Dan kulihat mereka melemparkan obor-obor mereka yang menyala kearahku dan Arjuna yang terikat tak berdaya. Perlahan tapi pasti, api membakar tubuh kami berdua, menghangatkan udara malam yang menusuk tulang. Kulihat mereka tertawa senang bahkan ada yang bersujud syukur. Inikah harga yang harus aku bayar karena aku tak berdaya? Inikah tanda terima kasihku kepada Arjuna, Tuhan? Dengan membawanya bersamaku menghadap-Mu dengan cara seperti ini?

Dalam panasnya api yang membakar kami, Arjuna menggenggam tanganku erat. Erat sekali hingga dapat kurasakan sisa-sisa tenaganya yang tersisa lalu ia berkata bahwa ia mencintaiku dengan hidup dan matinya dan ia tersenyum kepadaku. Senyum terindah yang pernah kulihat. Dan kami pun terbakar habis dalam cinta yang mengekalkan kami.

Satu minggu sudah aku dan Arjuna meninggalkan dunia ini, aku bahagia karena bisa bersamanya lagi di hadapan Yang Kuasa. Dan terlebih lagi, kami dimakamkan berdampingan. Tak lama kemudian datang beberapa orang untuk meletakkan nisanku.


Villa Dahlia
DIJUAL
Hubungi
ALEX (08113987209)

Tamat

Dahlia dan Arjuna (Part 1)

Dikala rembulan menampakkan indahnya, disinilah aku sendiri menikmati malam-malam panjangku. Tanpa ada yang datang menemani, tanpa ada yang mengasihi. Aku tak berani bermimpi, tak pernah punya nyali untuk berharap. Akan ada yang datang disini, dengan ketulusan dan hati yang suci, lalu berkata “Hai, aku mengagumi keindahanmu! Bolehkah aku datang datang menemuimu lagi?” Betapa semua itu hanya mimpi.

Mereka tak pernah peduli, hanya datang dan pergi sekedar menunggu pagi. Para lelaki hidung belang yang datang untuk melepas birahi, bersama wanita-wanita simpanan mereka. Atau para wanita kesepian yang haus akan sentuhan. Tak pernahkah mereka benar-benar mencintaiku apa adanya? Bukan hanya karena pengorbanan mereka yang teramat banyak hanya untuk bersamaku satu malam saja.

Hanya mereka yang sederhana yang mengerti bagaimana memperlakukanku, bagaimana menghargai setiap detik bersamaku. Mereka yang menyambung hidup dengan menjagaku siang dan malam demi sesuap nasi. Mereka pandangi tubuhku dengan decak kagum dan puji syukur di dalam hati kecil mereka. Meski mereka tahu, mereka takkan pernah sanggup memiliki aku.
Betapa amarahku memuncak, ketika para lelaki brengsek itu kembali kepadaku,bersama pelacur murahan yang mereka temui di gang-gang gelap. Melepas birahi sesaat tanpa berfikir bagaimana perasaanku. Desahan mereka layaknya anjing kelaparan yang haus akan kenikmatan sesaat sedangkan mereka tak pernah peduli apa yang terjadi padaku.

Sedangkan mereka yang sederhana itu adalah mahluk-mahluk paling romantis yang ku kenal. Mereka datang dengan wajah yang tersenyum ikhlas pertanda kebahagiaan saat mereka bisa kembali berjumpa denganku. Dengan hati – hati mereka merawatku, membersihkan tubuhku lalu kembali kepada keluarga mereka yang sederhana tanpa lupa mengucapkan selamat tinggal. Lalu dikala malam, datanglah pria itu, Arjunaku. Yang telah bertahun-tahun ada untukku, mengusir kesepianku meskipun ia tahu, aku takkan pernah bisa berterima kasih padanya.

Seperti biasa, malam ini dia datang untuk menemaniku. Perlahan ia mendekatiku lalu mengucapkan salam. “Selamat malam Dahlia, aku kembali untukmu malam ini!” betapa sapaan sederhana itu melegakan hatiku. Arjunaku datang kembali untukku. Lalu duduklah ia dipangkuanku, bersama segelas kopi panas ia bercerita padaku. Tentang harinya yang melelahkan, tentang keluarganya yang begitu ia cintai, tentang sawah dan ladang yang menjadi tumpuan hidupnya dan ke dua orang anaknya. Semuanya begitu mengalir, begitu nyaman ia berada bersamaku, dipelukanku. Dan akhirnya iya terlelap di pelukan hangatku. Hanya ini yang bisa ku lakukan untuk berterima kasih padanya.

Tuhan, andai ia bisa mendengarku, aku ingin mengatakan betapa aku mencintainya. Betapa aku cemburu kepada keluarganya, istri dan anak-anaknya. Karena dia berikan waktu dan seluruh cintanya untuk mereka. Aku hanyalah kewajiban di malam-malamnya. Akulah wanita penghibur baginya. Betapa ini tidak adil, Tuhan! Aku ingin dia tahu, aku ingin dia rasakan cintaku yang tulus untuknya. Rasa terima kasihku kepadanya.

Tetapi, sebelum Tuhan menjawab doaku, semuanya berubah! Malam itu, di kejauhan ku lihat segerombolan orang-prang dari desa tempat Arjunaku tinggal. Mereka tampak gelisah, terburu-buru. Terlihat jelas amarah dimata mereka. Mereka memanggil dan mengajak setiap pria dan pemuda yang mereka temui di perjalanan untuk bergabung bersama mereka. Dan jumlah mereka pun semakin banyak dan semakin bertambah banyak. Layaknya tentara yang siap bertempur dengan kentongan dan obor-obor yang menyala, mereka berjalan dengan beringas.

Bersambung...

Dia (Part 3)

“Dan, kata Tia semalem lo bawa perempuan ke kamar 206, beneran? Wah hebat juga lo sekarang! Hahaha…” Andri meledek.
“Kagak! Enak aja lo! Dia tamu yang biasa nginep di 206. Tadi malem dia pingsan di tangga parkiran bawah, mabuk.” Jawabku menyangkal.
“Wah, serem juga tuh orang ya? Hahaha... Minumnya berarti kuat ya?”
“Hush! Jangan ambil kesimpulan sendiri lo, Ndri!” jawabku ketus.
Kata – kata Andri tadi cukup membuatku sedih kenapa begitu mudah orang menilai dia seperti itu hanya karena kejadian tadi malam. Padahal, jauh di hati kecilku aku yakin dia tidak seperti yang Andri pikirkan. Tidak juga seperti apa yang para staff lain di lobby pikirkan tadi malam. Entah dari mana kutahu, aku hanya tahu.

“Permisi mas, saya mau room boy yang namanya Dani.” Suara itu memecah lamunanku.
“Eh mbak, maaf saya yang namanya Dani. Ada apa ya?” jawabku kaget, karena kulihat dia berdiri dihadapanku dan menanyakan namaku.
“oh, mas Dani ? Mas yang biasa beres – beres kamar saya kalau saya check out kan?” tanyanya memastikan.

"Iya mbak. Oh ya, udah lebih enak badannya? Maaf saya ga sopan tadi malam. Cuma saya kebetulan lihat mbak pingsan di tangga.” Aku meminta maaf.
“Oh iya, justru saya mau berterima kasih soal tadi malam. Mungkin kalu ga ada mas Dani saya ga tau gimana nasib saya deh, hehehe... Maaf ya jadi ngerepotin.”
“Ah, ga masalah kok mbak. Silahkan duduk, maaf yah pantrynya berantakan. Saya belum sempat beres – beres nih.”

Akhirnya kami berbincang – bincang singkat. Tak lama kemudian dia pamit untuk check out dan berangkat ke kantor. Benar – benar suatu keajaiban, tak pernah terpikir bahwa percakapan tadi benar – benar akan menjadi kenyataan. Tapi percakapan tadi tetap tidak menjawab pertanyaanku tadi malam, apa yang terjadi sampai dia mabuk begitu. namun sejak malam itu, ada yang berubah dari dia. Setiap senin pagi yang biasanya hanya diisi percakapan singkat, sekarang telah berubah menjadi obrolan – obrolan ringan berdurasi lima sampai sepuluh menit. Entah tentang cuaca, atau sekedar basa – basi tentang pekerjaan masing – masing. Mungkin hal ini tak berarti apapun untuk dia, namun aku menikmati setiap detik obrolanku dengannya.

Obrolan - obrolan singkat itu berlangsung hingga minggu - minggu berikutnya. Hingga suatu ketika ada yang berbeda. Hari itu adalah hari Minggu seperti biasa, aku menunggu kedatangan dia dan bersiap menyambutnya di pintu utama hotel. Tepat pukul 19.30 malam kulihat mobilnya memasuki parkiran hotel, namun ada yang berbeda malam itu. Dia tidak sendiri, ada seorang pria tinggi besar berpostur tegap dengan pakaian rapi berjalan bersamanya memasuki lobby hotel. Tidak seperti biasanya, dia berjalan tertunduk dan diam seribu bahasa ketika melihatku berdiri di pintu untuk menyambutnya. Lidahku kaku, tak bisa berkata apa - apa melihat kejadian itu. Tanpa basa - basi, mereka langsung naik lift menuju kamar mereka. Dan tinggalah aku dengan semakin banyak pertanyaan di dalam hati.

bersambung...

Dia (Part 2)

Entah suka, sayang, atau cinta, atau hanya kagum perasaan ini. Namun ku rasakan ketenangan ketika berhadapan dengannya meski hanya sesaat. Dan akupun terlelap.

Hari ini, 4 bulan sudah pertemuan singkat nan misterius dengannya di hotel setiap minggunya terjadi. Dan hari ini aku sangat bersemangat, karena hari ini adalah hari minggu jadi bisa dipastikan malam nanti ia akan datang kembali ke hotel. Ternyata benar saja, saat itu aku sedang merokok di luar pantry yg terletak dekat dengan ladies parking. Sengaja memang aku merokok disana, dengan harapan bisa bertemu dia sedikit lebih lama dibandingkan jika hanya bertemu esok pagi ketika membersihkan kamarnya. BMW itu pun terparkir dan ku lihat dia turun dari mobil dengan pakaian sedikit berantakan dan wajah yang lusuh. Tertatih dia berjalan menuju tangga ke lobby hotel, sepertinya dia mabuk.

“Mbak, mau ke lobby? Kok jalannya sempoyongan gitu mbak?” tanyaku khawatir.
“Eh... Hehehe... Si mas, ada apa tanya – tanya?” jawabnya.

BRUKK….

Tiba – tiba dia jatuh menghantam lantai tangga. Aku dengan sigap langsung memapahnya ke lobby. Ia pingsan, mungkin sudah terlalu mabuk.

“Tina! Tolong dong kunci kamar 206. Kosong kan?” tanya ku ke Tina, resepsionis hotel.
“Eh itu orang knapa Dan?? Pingsan???” tanya Tina kaget.
“Iya! Cepet dong… Kasian nih… Dia yang biasanya check in di 206. Tadi waktu naik ke lobby dari parkiran dia pingsan di tangga”

Akupun bergegas ke lift dan membawanya ke kamar 206. Ku baringkan tubuhnya di kasur, ke nyalakan AC dan ku siapkan selimut serta peralatan standard bagi tamu. Lalu ku seduhkan teh hangat untuknya. Dan aku meninggalkan kamar dengan penasaran dan penuh pertanyaan. Apa yg membuat dia seperti itu? Selama ini kulihat dia adalah tipe wanita independen yang tegar. Tapi sudahlah, itu privasi dia. Aku bukan siapa – siapa, meski aku peduli padanya. Selama ini aku hanya bisa membereskan kamarnya yang tidak pernah berantakan ketika dia check out sebagai kewajiban juga satu – satunya hal yang bisa ku laukukan itu wanita pujaanku. Namun, malam ini berbeda. Tuhan menjawab doaku dengan memberikan kesempatan untukku berbuat lebih dari sekedar membereskan kamar dan membawkan tas bawaannya. Meskipun semua ini tidak membuatku merasa lebih baik karena dia harus terbaring di kamar dalam keadaan mabuk.

Dia (Part 1)


“Pagi mbak…!” sapaku ramah.
“Pagi mas!” balasnya sambil tersenyum.
“ Biasa nih mau ngantor?” tanyaku memastikan.
“Iya nih, biasa lah..Kerjaan udah numpuk. Hehe…” jawabnya sambil tersenyum.

Percakapan pendek pagi tadi masih terkenang sampai sekarang, padahal percakapan itu terjadi hampir 5 jam yang lalu. Aku menghela nafas lalu berkata dalam hati betapa anehnya perasaan ini. Sesuatu yang sangat tidak biasa untuk hatiku juga untuk hidupku yang kecil.

“Woi! Bengong aja lo Dan!!” suara Andri, sahabatku memecah kesunyian.
“Eh iya, sori bgt! Jadi kita mau makan??”
“Boleh! Padang aja ya?? Duit gue tinggal 20 ribu buat hari ini.” Andri mengusulkan.
“Ayo dah..Lagian juga deket kok! Biar ga telat balik ke kantor.”

Sepanjang perjalanan kami kembali ke kantor, pikiranku mulai berkelana lagi kembali kala pertama aku bertemu dengan wanita itu. Pagi itu hanyalah pagi biasa, aku datang ke kantor pukul 6.30 dan langsung bergegas mengambil peralatan untuk kerja dan mulai mengecek satu per satu ruangan di lantai dua.

“Tok tok tok…permisi... Room service.”
“Iya silahkan. Buka aja, ga dikunci kok!” sahut suara wanita dari dalam kamar 206.

Akupun masuk dan mulai membereskan ruangan tersebut. Betapa aku bersyukur karena datang lebih pagi hari itu, karena aku tak akan mungkin melihat wanita itu jika aku terlambat 15 menit saja. Benar – benar pemandangan indah melihat wanita itu dengan serius dan sigapnya berkemas. Rambutnya yang tergerai hitam, wajahnya yang bulat dangan lesung pipi yang menambah manis wajahnya benar – membuat aku bersyukur pagi itu.

“Sudah mau check out, mbak?” tanyaku berusaha memecah kesunyian
“Iya nih, saya buru – buru mau ke kantor” jawabnya sambil berlalu keluar ruangan.

Akupun ikut turun sambil membawakan barang – barang wanita tersebut. Percakapan pagi itu merupakan awal dari percakapan – percakapan berikutnya, termasuk percakapan tadi pagi. Kami kembali berpapasan tadi pagi ketika seperti biasa, wanita itu check out sekitar pukul 6.30 setelah menghabiskan minggu malamnya di hotel tempatku bekerja.

“Oi..lo bukannya mesti nganterin bunga ya ke 201? ” Andri mengingatkan.
“Oh iya!aduh gue lupa..” aku bergegas ke florist.
“Bengong aja sih lo... Kesambet ntar!” Andri meledek.

Akhirnya, setelah hari yang melelahkan aku kembali ke rumah kontrakanku. Ku lempar tubuh lelahku ke kasur. Masih aku membayangkan pertemuan – pertemuanku dengan wanita yang hingga kini ku tak tau namanya itu.


Selasa, 20 Juli 2010

Aku Hanya

Aku hanyalah manusia biasa
Lemah dan tak berdaya, menjalani hidup apa adanya
Kini ku ingin kau mendengar dan mengerti
Ku tak butuh harta, ku hanya ingin tertawa
Ku tak mau rantai mengikatku,
yang kungin cinta yang melindungiku
Ku tak perlu cinta untuk dimiliki
Ku hanya ingin hati untuk berbagi

By: Harris Kristanto

Aku Diam

Aku diam
Aku diam karena tak mau bicara
Aku diam karena tak ingin bersuara
Aku diam karena tak tak tahu harus apa
Aku diam tanpa kehidupan
Aku diam dan hanya diam

By: Harris Kristanto

Akulah ini

Akulah karang yang berdiri tegar menentang gelombang
Tanpa kau tahu, aku mengerang kesakitan
Akulah tanah, dengan gagah menopang dan tanpa lelah memberi
Tanpa kau sadari, aku telah kau racuni

Akulah bulan, dengan anggun menerangi
dengan indah kau puja puji
Tanpa kau sadari, aku terlupa ketika mentari ada

Akulah pemujamu yang selalu setia menunggu
Tanpa pernah kusadari bahwa kau telah melupakanku

by: Harris Kristanto