Followers

Kamis, 25 November 2010

Kalian Tak Boleh Protes

Diamku sungguh tak menentu
Diamku sungguh tak berguna
Baginya
mungkin...

Mungkin diamku menjadi masalah?
Apakah diamku berat untukmu?
Mungkinkah diamku mengganggumu?
mungkin...

Bagiku mudah saja untuk diam
Karena diamku tak pernah menjadi apapun untukku
Diamku membisu
Tak pernah berbicara

Tapi kenapa kau terus mengusik diamku itu?
Kau tak tahu, aku lelah
Kau tak tahu, aku jadi linglung
Mengapa aku terpojok oleh diamku sendiri?

Kau tak pernah tahu aku tak pernah suka
Aku tak pernah suka perdebatan
Perdebatan tak sempurna tentang lawan jenis
yang memang benar-benar tak sempurna

Aku diam
Kalian tak boleh protes

Sabtu, 30 Oktober 2010

Hujan dan Awan

Tiba-tiba aku terbayang
Dia yang sebenarnya
yang selalu hadir kapanpun
namun salahkan aku yang tak pernah mengerti

Indahnya dia yang tertutup
Tertutup hembusan angin yang serta merta membawanya pergi
dan saat angin berhembus itulah
Aku sadar aku bodoh

Angin yang selalu membawamu melayang
Melayang tinggi sampai batas awan
Angin yang tak mau mengalah,
Akhirnya menghembuskan awan turun beserta airnya

Air?
Ya, ini air hujan!
Tapi mengapa hujan ini turun tiba-tiba?
Tidak, hujan ini mengingatkanku padamu
Hujan ini hanya mengingatkanku padamu

Apakah kau menangis?
Apakah kau rindukan awan yang cerah?
Cukup, aku mohon jangan menangis lagi
karena hujan ini menghentikan langkahku tiba-tiba

Aku sedang berperang,
berperang jiwa dan logika dengan perasaanku

Tiba-tiba langkah beratku ini berubah arah
Aku berlari mengejarmu
Mendekapmu dalam pelukan
Selamanya

Minggu, 10 Oktober 2010

Kepala Besar

Kata Ibu, jadilah manusia baik
Kata Ayah, jadilah manusia yang berguna
Kata Nenek, jadilah manusia hebat
Kata Kakek, jadilah manusia yang bermanusiawi

Lalu, saat aku beranjak dewasa aku terpaku
Rasa hati ini tak tenang
Risaukan kata-kata dari ibu, ayah, nenek, dan kakek
Sejenak aku lupa, apa kata mereka?

Waktu bergulir dan terus mengalir
Aku masih terdiam, terus terperangah
aaaaaaah, mengapa ini begini?
aku... aku... apa aku ini?

Fase kedewasaan kata mereka
Sibuk mencari jati diri mereka bilang
Jati diri, dewasa
Sekejap pun akan hilang. Betul?


Aku lelah ah
Aku tak ingin dewasa, aku tak mau besar
Aku tak mau badanku besar
Aku tak mau kepalaku besar

Besar kepala!

Jumat, 30 Juli 2010

Biarlah Aku Memelukmu Lagi (part 2)

Aku terlalu sibuk untuk sekedar memeluknya. Dia yang selalu memelukku. Aku tak pernah membalas pelukannya karena aku pikir rasa cintaku kepadanya saja sudah cukup lebih dan tak perlu dibahasakan dengan suatu pelukan sayang sekalipun.

Pikiranku menerawang jauh...

Pagi itu, seperti biasa, aku bersiap-siap untuk bekerja. Istriku pun sudah menyiapkan sarapan untukku.

Selesai sarapan aku langsung berjalan menuju halte bus. Halte itu terletak di seberang jalan yang mengharuskan aku menyeberang jalan terlebih dahulu. Saat lampu merah menyala, aku berjalan menyeberangi jalan. Tiba-tiba tanganku ditarik. Aku menoleh ke belakang. Betapa kagetnya aku, ternyata istriku yang menarik tanganku. Kami terdiam di tengah jalan itu. Aku memandangnya dengan heran.

“Peluklah aku.” Kata istriku memecah pandanganku. Aku masih diam.

“Peluklah aku!” suara istriku semakin meninggi.

Aku melihat sekelilingku, semua orang memandang kamu dengan tatapan heran, sinis, dan takjub. Mungkin mereka merasa aneh dengan keberadaan kami berdua di tengah jalan yang terdiam saling pandang. Mirip adegan sinetron.

Aku memandang mata istriku. Begitu lamanya kah aku tidak pernah memeluknya sehingga aku harus memeluknya di tengah jalan seperti ini?

Aku memeluk istriku.

Aku peluk dia dengan cepat agar tak ada lagi yang memerhatikan kami dan menganggap kami adalah pasangan gila yang berpelukan di tengah jalan.

Lampu kuning.

Lampu hijau pun menyala.

“Tin... tin...” suara klakson mobil berbunyi mengisyaratkan agar kami segera minggir dari tengah jalan itu. Aku cepat-cepat menyeberang. Istriku tertinggal di belakang. Saat telah sampai di seberang, aku menengok ke belakang. Ada bus melaju dengan kecepatan tinggi menuju arah istriku yang masih kesusahan menyeberang jalan. Melihat situasi itu aku berlari berbalik arah menuju istriku menembus jalanan ramai itu dan menarik istriku.

“BRAK...!”

Hitam. Semua pandanganku berubah jadi hitam. Aku merasa lelah dan lemah sekali. Aku pun tertidur sampai hari ini.

Aku membuka mataku, kini aku ingat aku ini apa. Aku yang sekarang adalah roh. Nyawa diriku sendiri yang keluar dari badanku dan tak bisa mausk lagi ke badanku sendiri.

“AAAAAAAAAAAAA....!!!!” aku berteriak kencang sekali meluapkan kesedihanku. Aku menagis terisak tak karuan. Aku ingin kembali ke tubuhku Tuhan, aku belum ingin dan belum siap mati, Tuhan. Aku mohon kembalikan aku ke dalam tubuhku. Aku ingin bangun dan memperbaiki kesalahanku dengan istriku. Aku sangat mencintainya Tuhan. Aku masih ingin memeluk dia. Aku akan memeluk dia, menganggap ia adalah nyawaku...

Tiba-tiba badanku yang terbaring di atas kasur bersinar. Aku kaget melihat tubuhku mengeluarkan sinar putih. Aku berjalan mendekati tubuhku. Aku memegang tanganku. Ajaib, terasa hangat. Aku tersenyum. Lalu aku berbaring di atas tubuhku. Berhasil! Aku berhasil masuk ke dalam tubuhku lagi.

Aku membuka mataku. Kulihat wajah istriku di depan wajahku. Ia tersenyum dan menangis. Ia menangis lagi. Aku memeluknya dengan erat. Aku tak mau melepas pelukanku. Aku takut tak bisa memeluknya lagi. Aku takut tak akan bisa merasakan hangat pelukannya lagi.

Terimakasih Tuhan...
Aku akan memeluknya sampai aku menutup mataku untuk selamanya...

Tamat

Biarlah Aku Memelukmu Lagi

Aku terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit. Tempat tidur yang tak kurasa hangat sama sekali. Meskipun aku sudah memakai baju hangat dan selimut tebal dengan bau khas rumah sakit, aku tetap merasa dingin. Mataku terpejam, tapi aku bisa merasakan dan mendengar suara-suara orang-orang yang berbicara, melantunkan doa, dan tangisan. Tunggu, aku tahu suara tangisan itu siapa itu. Suara yang lemah, parau dan terdengar menyakitkan. Istriku. Ya benar, tak salah lagi itu pasti suara istriku. Istriku sayang, kenapa kau menangis? Aku ada di sini sayang, tepat di depanmu. Aku berusaha memegang istriku, tapi gagal. Istriku tak tersentuh, dan ia tetap menangis.

Ya Tuhan, ada apa denganku? Mengapa aku tak bisa menyentuh orang yang kucintai?

Aku berdiri di sudut ruangan berusaha memegang benda-benda yang ada di sekitarku. Aku berusaha menjatuhkannya untuk membuat suara, tapi gagal. Aku tertunduk dan merapat sampai akhirnya aku jatuh terduduk. Aku menangis. Ya, aku menangis. Hal yang tak pernah aku lakukan sebelumnya, apalagi di depan istriku.

Hari demi hari aku lewati di rumah sakit. Setiap hari aku melihat tubuhku yang terbaring di atas tempat tidur. Aku ingin kembali ke dalam tubuhku. Tapi saat aku mencoba masuk, aku seakan ditolak oleh tubuhku sendiri. Berulang kali ku mencoba tapi selalu gagal. Aku gagal masuk ke dalam tubuhku sendiri.

Ingin rasanya aku mencakar tubuhku sendiri, tapi tentu saja tak bisa. Aku tetap sendirian di sini.

Aku tak tahu makhluk apakah aku ini. Berwujud tapi tak seorangpun dapat melihatku. Aku bisa berbicara dan mendengar, tapi orang lain tak pula dapat mendengarku. Bahkan aku bisa menangis. Tangisan pilu yang tak ada seorangpun tahu kalau aku menangis. Meskipun di satu sisi aku senang juga karena tak ada seorangpun yang tahu aku menangis. Karena aku tak ingin terlihat lemah dengan tangisanku.

“Kreeeek...” suara pintu terbuka. Pukul 10.00, aku yakin itu pasti istriku yang datang. Benar saja, istriku datang membawa semangkuk bubur ayam yang hangat. Ia duduk di kursi yang menghadap ke arah tempat tidur lalu membuka tutup mangkuk itu. Ia menyendokkan sesuap bubur dan menyuapkannya ke arah mulutku. Bibirku tertutup rapat.

“Sayang, kau belum sarapan kan? Ayo makanlah dulu bubur ini.” Istriku menodongkan sendok bubur itu ke mulutku. Namun aku diam, mulutku tetap tertutup rapat.

Lama sekali tangan istriku diam mematung dengan sendok buburnya di depan mulutku. Kulihat ia menangis. Air matanya jatuh setetes demi setetes masuk ke dalam bubur itu. Matanya sembab, buburnya telah berair. Istriku menurunkan tangannya dari mulutku. Dengan matanya yang masih mengeluarkan air mata. Ia terus memandangku. Tatapannya sendu sekali seolah banyak beban yang dirasakannya. Ia memegang tanganku dengan erat dan menciumnya. Hangat sekali, seolah aku bisa merasakan hangat ciumannya di tanganku.

Aku berdiri di belakangnya, berusaha memegang rambutnya dan mengelusnya. Aku peluk dia dari belakang saat ia berdiri. Tak tersentuh. Aku merasa sakit sekali. Aku memegang dadaku. Sungguh sakit rasanya tak bisa memeluk istriku sendiri. Lagi-lagi aku menangis. Tuhan...

Aku lelah seperti ini. Kenapa kau beri aku keadaan seperti ini Tuhan? Aku tak sanggup, sungguh aku tak sanggup melihat istriku setiap hari menangis untukku. Kembalikkan aku ke tubuhku Tuhan! Tolong kembalikan aku! Aku ingin memeluk istriku lagi untuk kedua kalinya...

Kedua kalinya? Tunggu sebentar. Apakah aku pernah memeluknya?

Aku ingat-ingat dulu... kapan terakhir kali aku memeluknya?


Bersambung...

Minggu, 25 Juli 2010

Simpul Dasi

Dasi hitam tak berujung
Panjang lelah ia tergulung lesu
Lesu tak ketemu titik lemahnya
Pun ia terikat di simpul atasnya

Simpul dasi itu menguat seakan tak ingin lepas
Setiap gulungan itu semakin kuat rasanya
Ah ada apa ini, dasi ini sungguh menyakitkan
Tolong leher saya...

Simpul ini terlalu kuat lah ikatannya
Sakit sekali merah dibuatnya
Dasi ini benar-benar tak tahu keadaanku
Aku yang tak lagi berbadan...

Dasi jahat
Dasi kejam
Dasi semena-mena
yang membiarkanku berjalan terus sambil menenteng kepala berdasiku

Dia (Part 6)

Tiba - tiba HP ku berdering. Kulihat nama TINA tertera di layar HP ku.
"Halo... Iya, Tin. Ada apa?" Aku bertanya heran.
"Gimana itu tamu yang tadi? Lo di RS kan sama dia?" Tanya Tina.
"Iya, ini gu di RS sama dia. Tapi gue belum tau keadaan dia. Dia masih di IGD. Eh, gue minta tolong dong?"
"Apa?" Sahut Tina.
"Lo masih di hotel kan? Coba deh cek data tamu kamar 206 itu. Siapa sih namanya?"
"AH! Jadi selama ini lo gak tau namanya siapa? Gue udah sampai rumah.. Sori gak bisa bantu sekarang, nanti siang deh ya. ok?" Jawab Tina.
"Oke deh!Sekarang NN aja dulu namanya deh. Makasih yaa....."

Tina menutup telepon. Perasaanku tak menentu, ku kembali menghampiri meja administrasi.
"Mbak, saya baru bisa kasih datanya nanti siang. Sekarang nama pasiennya NN aja bisa? Soal jaminan pakai nama saya aja ya? ini KTP saya." Sambil menyerahkan KTP ku.
"Baik, silahkan ditunggu mas."

Di salah satu lorong sepi di rumah sakit itu, aku menunggu. Menunggu dokter menangani dia. Benar - benar hari yang melelahkan sekaligus tidak menyenangkan. Betapa tidak, kehadiran dia yang beberapa bulan kebelakang memberi warna baru dalam hidupku ternyata bisa berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui ku hari ini, mungkin untuk seterusnya. Apakah dia akan baik - baik saja? Siapakah laki - laki yang tega melakukan ini padanya? Siapakah sebenarnya Dia? Semua pertanyaan itu lalu lalang di kepalaku. Namun, tersiarat setitik harapan bahwa dia akan baik - baik saja. Bahwa aku akan punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh, merawatnya dan akhirnya punya kesempatan untuk menjawab semua pertanyaanku tadi. Di lorong sepi itu pun aku terlelap.

"Ehm.. Permisi Pak!" Suara dokter membangunkanku. Rupanya ia sudah keluar dari UGD.
"Eh, iya Dok! Maaf. Bagaimana keadaan pasiennya, Dok?" Tanyaku khawatir.
"Baik, untungnya tidak ada luka serius. Namun pasien mengalami pendarahn akibat luka di sekujur tubuhnya. Sekarang sudah bisa dipindahkan ke Ruang Perawatan. Namun pasien belum sadar." Dokter menjelaskan.
"Baiklah, Dok! Terima kasih banyak"
"Sama - sama." Dokter itu berlalu.

Aku lega. Syukurlah dia baik - baik saja. Aku bahagia. Karena harapanku semakin dekat untuk menjadi kenyataan. Semakin bisa kulihat jelas. Aku bergegas menuju Ruang Perawatan Dia. Dia baru saja tiba di kamar itu. Masih ada beberapa perawat yang menyiapkan ruangan tersebut

"Maaf Mas, keluarganya?" Tanya salah seorang perawat kepadaku.
"Bukan, tapi saya yang bawa dia kesini. Ada apa Mas?" Tanyaku heran.
"Dokter berpesan, pasien ini tidak boleh dikunjungi dulu karena butuh istirahat total sampai besok pagi." Perawat itu menjelaskan sambil mencegahku masuk.
"Oh, Oke. Saya pulang saja. Terima kasih ya, Mas!"

Meskipun kecewa, aku tetap pulang dengan senyuman.
"Semoga dia cepat siuman." Aku berdoa di dalam hati. Pagi2 buta, aku sampai di kontrakan dan beristirahat.

Sore harinya, aku kembali ke hotel untuk menemui Tina dan menagih janjinya.
"Dan!" Teriak Tina dari balik meja resepsionis.
"Eh! Baru dtg lo Tin?" Aku menghampiri Tina.
"Gak juga sih,udah 1 jam gue disini. Gue dateng cepet karena gue pikir bisa nyari dulu data yang lo minta tadi malam dulu. Tapi..."
"Tapi apa?" Tanyaku penasaran.
"Tapi gue lupa, hari ini server hotel maintenance dan semua database ditutup untuk pengecekan. Persiapan Akhir tahun" Tina menjelaskan.


Bersambung...

Dia (Part 5)

Malam pun semakin mendekati pagi, aku bisa merasakan kantuk sudah menggelantungi mataku. Namun dalam hati ini ada bisikan yang menahan ku untuk tetap terjaga. Kedatangan dia malam tadi benar – benar janggal. Momen itu tak bias lepas dari rekam ingatanku. Setelah memantapkan hati, aku memutuskan untuk naik ke kamar tempat dia menginap untuk mengetahui keadaaan dan mengobati rasa khawatirku.

Ukiran besi berwarna emas bertuliskan “206” itu akhirnya ada di hadapanku. Meskipun samar – samar, dari celah pintu aku mengintip. Ternyata ruangan itu gelap gulita. Tak ada satupun lampu di dalam kamar yang menyala. Gemetar namun penuh keyakinan perlahan ku raih gagang pintu berusaha membukanya. Ternyata tidak terkunci. Begitu pintu itu terbuka, tercium bau amis darah yang sangat menyengat. Dengan susah payah, ku cari saklar lampu. Betapa terkejutnya aku, ketika kulihat dia tergeletak diatas kasur dengan bersimbah darah dan barang – barang berserakan. Meskipun hanya melihat di TV, aku langsung mengecek denyut nadinya. Lemah. Dia sekarat. Bergegas ku cari pesawat telp untuk memanggil staff yang lain.

“Tina! Ini Dani! Tolong dong kirim orang nih ke kamar 206... ada tamu yang sekarat nih.”
“Ah yg bener, dan?! Jangan bercanda ah!” Tina tidak percaya.
“Iya! Buat apa sih gue bercanda jam segini. Ga ada untungnya tau! Tolong ya cepat! Oh ya! Hubungi ambulans juga ya.” Aku mengakhiri pembicaraan.

Apa yang terjadi dengan dia? Mengapa sampai begini? Apakah pria tadi berniat membunuhnya? Ah! Benar – benar malam yang penuh pertanyaan. Tak lama kemudian Tina, Bapak Yoga, manager kami dan beberapa rekan Room Boy tiba. Kami memutuskan untuk membawa dia ke rumah sakit. Aku memutuskan untuk ikut menemani dia.

Perjalanan ke rumah sakit kami tempuh hanya dalam 10 menit karena kondisi jalan yang sangat sepi. Para petugas jaga IGD dan ambulans langsung membawa dia ke ruang IGD. Sedangkan aku menuju meja administrasi.

“Selamat malam mbak, saya mau daftarkan pasien”
“Oh! Yang barusan datang ya mas?”
“Iya mbak, tapi saya bukan keluarganya. Dia tamu hotel tempat saya bekerja.” Tanyaku khawatir tentang administrasi dia.
“Gak apa – apa mas, yang penting ada data aja dulu.” Jawab suster menenangkanku.
“Oh begitu ya mbak, oke deh. Nanti saya lengkapi datanya dari hotel ya mbak?” Tanyaku.
“Bisa, tapi sekarang boleh saya tau nama mas dan pasiennya?”

Pertanyaan suster barusan mengagetkanku. Berbulan – bulan aku tak pernah berani menanyakan nama dia. Dan sekarang aku tak bisa membantu dia hanya karena tidak tau nama dia.

“Saya Dani Darmawan, pasiennya......” Jawabku ragu.
“Siapa mas nama pasiennya?”

Bersambung...

Dia (Part 4)

"Dan, ngapain sih? Kok dari tadi tamu favorit lo itu dateng tapi lo malah diem - diem aja gitu???" tanya Andri yg semenjak tadi ternyata memperhatikanku.
"Eh, gak! Ga ada apa - apa! Ke parkiran basement yok! Gue pengen ngerokok nih!"
Kami pun menuju parkiran basement, tempat aku menemukan dia pingsan karena mabuk berat.
"Lo liat gak tadi laki - laki yang sama tamu favorit gue check in??"
"Yang biasa check in di 206 maksud lo dan? Liat gw! Serem ya, itu suami atau body guard ya?? Gede gitu!"
"Justru gue mau tanya sama lo. Kira - kira itu siapa ya?" timpalku.
Kami berdua pun terdiam karena tidak menemukan jawaban atas pertanyaan bersama barusan. Tak terasa waktu berlalu cukup cepat, sudah lebih dari tuga batang rokok yang masing- masing dari kami sudah habiskan. Kami pun kembali ke pantry.

Aku melanjutkan pekerjaanku berusaha mengalihkan pikiran dari pertanyaan siapakah laki - laki yang bersama dia tadi. Memang itu benar - benar bukan urusanku yang bukan siapa - siapa untuk dia. Namun, ada sesuatu yang kulihat dari sikapnya tadi, bahasa tubuhnya yang menunjukkan kesedihan bahkan ketakutan yang membuatku tak bisa lepaskan dia dari pikiranku. Dalam lubuk hati aku hanya bisa berharap esok pagi kami akan berbincang lagi dan aku bisa bertanya kepada dia.

Jam tanganku menunjukkan jam 12 malam dan rokok di kantong celanaku telah habis, aku memutuskan untuk pergi keluar hotel dan membeli sebungkus rokok di warung seberang jalan.
Aku memutuskan untuk menghabiskan dua batang rokok yang kubeli di warung itu karena tak ada pekerjaan menungguku dan Andri pun telah pulang karena besok shift pagi. Dari kejauhan kulihat sesosok pria keluar dari lobby hotel dan menuju kemari.
"Bang, mild satu bungkus!" pria itu berkata dengan nada gugup dan terburu - buru.
"Makasih!" pria itu bergegas pergi.

Aku terkejut ketika aku mengetahui bahwa pria tadi adalah pria yg sama yang datang bersama dia. Karena penasaran aku memutuskan untuk mengikuti pria itu, karena aku merasakan ada yang tidak beres dengan gelagatnya. Ternyata benar, pria itu tidak kembali ke kamar 206 tetapi menuju parkiran dan meninggalkan hotel dengan mobil dia. Aku bergegas ke lobby.

"Tin, itu kamar 206 udah check out?" Tanyaku penasaran pada Tina.
"Sebentar..."
"Belom Dan,emang kenapa??"
"Gak, tanya aja"

Semakin resah hati ini dengan pertanyaan - pertanyaan yang benar - benar membuatku bingung, ada apa sebenarnya antara dia dan pria itu.

Bersambung...

Dahlia dan Arjuna (Part 2)

Tak kusangka, mereka menghampiriku. Aku terhenyak, tak mengerti apa yang terjadi. Lalu salah satu dari mereka berkata. “Kau harus mati! Kau adalah aib bagi desa kami, telah bertahun-tahun kami menahan malu dengan adanya dirimu disini”. Aku terdiam tak mampu berkata apa-apa,karena aku sadar betapa hinanya aku. Keberadaanku yang tak pernah bisa membawa kebaikan untuk mereka disekitarku. Aku berpasrah menyerahkan diri pada mereka yang siap membakar habis tubuhku.

“Tunggu! Dahlia tak tahu apa-apa! Dia tak berdosa! Tolong jangan sakiti dia…” Arjunaku datang dan membelaku. Namun keberingasan gerombolan warga tak mampu terbendung oleh kata-kata Arjuna ku. “CUKUP! Jangan diteruskan!” aku berteriak lirih sambil menangis melihat Arjuna bertengkar hebat dengan para gerombolan itu. Dengan sadisnya mereka menghajar Arjuna ku tanpa ampun karena membelaku.

Tak sanggup aku melihatnya, namun tak kuasa diri ini membantu, apalagi melawan. Rasa bersalah dan pasrahku telah memenjarakan tubuh ini dalam penjara penyesalan.
Kini, Arjuna tersungkur bersimbah darah di hadapanku. Kami berdua tak berdaya ketika gerombolan warga dengan membabi buta menghantamkan batu dan kayu ke tubuh kami berdua. Aku merintih, meronta kesakitan. Tapi yang lebih menyiksaku adalah, melihat Arjuna yang sudah di ujung nafasnya. Aku tak sanggup…aku tak sanggup melihatmu begini Arjuna…
Arjuna diikatkan bersamaku. Aku bisa mendengarnya meringis kesakitan meregang nyawa. Betapa suara itu membunuhku perlahan lahan.

“BAKAAAARR!!!!” Suara itu menggetarkan udara malam yang tipis. Dan kulihat mereka melemparkan obor-obor mereka yang menyala kearahku dan Arjuna yang terikat tak berdaya. Perlahan tapi pasti, api membakar tubuh kami berdua, menghangatkan udara malam yang menusuk tulang. Kulihat mereka tertawa senang bahkan ada yang bersujud syukur. Inikah harga yang harus aku bayar karena aku tak berdaya? Inikah tanda terima kasihku kepada Arjuna, Tuhan? Dengan membawanya bersamaku menghadap-Mu dengan cara seperti ini?

Dalam panasnya api yang membakar kami, Arjuna menggenggam tanganku erat. Erat sekali hingga dapat kurasakan sisa-sisa tenaganya yang tersisa lalu ia berkata bahwa ia mencintaiku dengan hidup dan matinya dan ia tersenyum kepadaku. Senyum terindah yang pernah kulihat. Dan kami pun terbakar habis dalam cinta yang mengekalkan kami.

Satu minggu sudah aku dan Arjuna meninggalkan dunia ini, aku bahagia karena bisa bersamanya lagi di hadapan Yang Kuasa. Dan terlebih lagi, kami dimakamkan berdampingan. Tak lama kemudian datang beberapa orang untuk meletakkan nisanku.


Villa Dahlia
DIJUAL
Hubungi
ALEX (08113987209)

Tamat

Dahlia dan Arjuna (Part 1)

Dikala rembulan menampakkan indahnya, disinilah aku sendiri menikmati malam-malam panjangku. Tanpa ada yang datang menemani, tanpa ada yang mengasihi. Aku tak berani bermimpi, tak pernah punya nyali untuk berharap. Akan ada yang datang disini, dengan ketulusan dan hati yang suci, lalu berkata “Hai, aku mengagumi keindahanmu! Bolehkah aku datang datang menemuimu lagi?” Betapa semua itu hanya mimpi.

Mereka tak pernah peduli, hanya datang dan pergi sekedar menunggu pagi. Para lelaki hidung belang yang datang untuk melepas birahi, bersama wanita-wanita simpanan mereka. Atau para wanita kesepian yang haus akan sentuhan. Tak pernahkah mereka benar-benar mencintaiku apa adanya? Bukan hanya karena pengorbanan mereka yang teramat banyak hanya untuk bersamaku satu malam saja.

Hanya mereka yang sederhana yang mengerti bagaimana memperlakukanku, bagaimana menghargai setiap detik bersamaku. Mereka yang menyambung hidup dengan menjagaku siang dan malam demi sesuap nasi. Mereka pandangi tubuhku dengan decak kagum dan puji syukur di dalam hati kecil mereka. Meski mereka tahu, mereka takkan pernah sanggup memiliki aku.
Betapa amarahku memuncak, ketika para lelaki brengsek itu kembali kepadaku,bersama pelacur murahan yang mereka temui di gang-gang gelap. Melepas birahi sesaat tanpa berfikir bagaimana perasaanku. Desahan mereka layaknya anjing kelaparan yang haus akan kenikmatan sesaat sedangkan mereka tak pernah peduli apa yang terjadi padaku.

Sedangkan mereka yang sederhana itu adalah mahluk-mahluk paling romantis yang ku kenal. Mereka datang dengan wajah yang tersenyum ikhlas pertanda kebahagiaan saat mereka bisa kembali berjumpa denganku. Dengan hati – hati mereka merawatku, membersihkan tubuhku lalu kembali kepada keluarga mereka yang sederhana tanpa lupa mengucapkan selamat tinggal. Lalu dikala malam, datanglah pria itu, Arjunaku. Yang telah bertahun-tahun ada untukku, mengusir kesepianku meskipun ia tahu, aku takkan pernah bisa berterima kasih padanya.

Seperti biasa, malam ini dia datang untuk menemaniku. Perlahan ia mendekatiku lalu mengucapkan salam. “Selamat malam Dahlia, aku kembali untukmu malam ini!” betapa sapaan sederhana itu melegakan hatiku. Arjunaku datang kembali untukku. Lalu duduklah ia dipangkuanku, bersama segelas kopi panas ia bercerita padaku. Tentang harinya yang melelahkan, tentang keluarganya yang begitu ia cintai, tentang sawah dan ladang yang menjadi tumpuan hidupnya dan ke dua orang anaknya. Semuanya begitu mengalir, begitu nyaman ia berada bersamaku, dipelukanku. Dan akhirnya iya terlelap di pelukan hangatku. Hanya ini yang bisa ku lakukan untuk berterima kasih padanya.

Tuhan, andai ia bisa mendengarku, aku ingin mengatakan betapa aku mencintainya. Betapa aku cemburu kepada keluarganya, istri dan anak-anaknya. Karena dia berikan waktu dan seluruh cintanya untuk mereka. Aku hanyalah kewajiban di malam-malamnya. Akulah wanita penghibur baginya. Betapa ini tidak adil, Tuhan! Aku ingin dia tahu, aku ingin dia rasakan cintaku yang tulus untuknya. Rasa terima kasihku kepadanya.

Tetapi, sebelum Tuhan menjawab doaku, semuanya berubah! Malam itu, di kejauhan ku lihat segerombolan orang-prang dari desa tempat Arjunaku tinggal. Mereka tampak gelisah, terburu-buru. Terlihat jelas amarah dimata mereka. Mereka memanggil dan mengajak setiap pria dan pemuda yang mereka temui di perjalanan untuk bergabung bersama mereka. Dan jumlah mereka pun semakin banyak dan semakin bertambah banyak. Layaknya tentara yang siap bertempur dengan kentongan dan obor-obor yang menyala, mereka berjalan dengan beringas.

Bersambung...

Dia (Part 3)

“Dan, kata Tia semalem lo bawa perempuan ke kamar 206, beneran? Wah hebat juga lo sekarang! Hahaha…” Andri meledek.
“Kagak! Enak aja lo! Dia tamu yang biasa nginep di 206. Tadi malem dia pingsan di tangga parkiran bawah, mabuk.” Jawabku menyangkal.
“Wah, serem juga tuh orang ya? Hahaha... Minumnya berarti kuat ya?”
“Hush! Jangan ambil kesimpulan sendiri lo, Ndri!” jawabku ketus.
Kata – kata Andri tadi cukup membuatku sedih kenapa begitu mudah orang menilai dia seperti itu hanya karena kejadian tadi malam. Padahal, jauh di hati kecilku aku yakin dia tidak seperti yang Andri pikirkan. Tidak juga seperti apa yang para staff lain di lobby pikirkan tadi malam. Entah dari mana kutahu, aku hanya tahu.

“Permisi mas, saya mau room boy yang namanya Dani.” Suara itu memecah lamunanku.
“Eh mbak, maaf saya yang namanya Dani. Ada apa ya?” jawabku kaget, karena kulihat dia berdiri dihadapanku dan menanyakan namaku.
“oh, mas Dani ? Mas yang biasa beres – beres kamar saya kalau saya check out kan?” tanyanya memastikan.

"Iya mbak. Oh ya, udah lebih enak badannya? Maaf saya ga sopan tadi malam. Cuma saya kebetulan lihat mbak pingsan di tangga.” Aku meminta maaf.
“Oh iya, justru saya mau berterima kasih soal tadi malam. Mungkin kalu ga ada mas Dani saya ga tau gimana nasib saya deh, hehehe... Maaf ya jadi ngerepotin.”
“Ah, ga masalah kok mbak. Silahkan duduk, maaf yah pantrynya berantakan. Saya belum sempat beres – beres nih.”

Akhirnya kami berbincang – bincang singkat. Tak lama kemudian dia pamit untuk check out dan berangkat ke kantor. Benar – benar suatu keajaiban, tak pernah terpikir bahwa percakapan tadi benar – benar akan menjadi kenyataan. Tapi percakapan tadi tetap tidak menjawab pertanyaanku tadi malam, apa yang terjadi sampai dia mabuk begitu. namun sejak malam itu, ada yang berubah dari dia. Setiap senin pagi yang biasanya hanya diisi percakapan singkat, sekarang telah berubah menjadi obrolan – obrolan ringan berdurasi lima sampai sepuluh menit. Entah tentang cuaca, atau sekedar basa – basi tentang pekerjaan masing – masing. Mungkin hal ini tak berarti apapun untuk dia, namun aku menikmati setiap detik obrolanku dengannya.

Obrolan - obrolan singkat itu berlangsung hingga minggu - minggu berikutnya. Hingga suatu ketika ada yang berbeda. Hari itu adalah hari Minggu seperti biasa, aku menunggu kedatangan dia dan bersiap menyambutnya di pintu utama hotel. Tepat pukul 19.30 malam kulihat mobilnya memasuki parkiran hotel, namun ada yang berbeda malam itu. Dia tidak sendiri, ada seorang pria tinggi besar berpostur tegap dengan pakaian rapi berjalan bersamanya memasuki lobby hotel. Tidak seperti biasanya, dia berjalan tertunduk dan diam seribu bahasa ketika melihatku berdiri di pintu untuk menyambutnya. Lidahku kaku, tak bisa berkata apa - apa melihat kejadian itu. Tanpa basa - basi, mereka langsung naik lift menuju kamar mereka. Dan tinggalah aku dengan semakin banyak pertanyaan di dalam hati.

bersambung...

Dia (Part 2)

Entah suka, sayang, atau cinta, atau hanya kagum perasaan ini. Namun ku rasakan ketenangan ketika berhadapan dengannya meski hanya sesaat. Dan akupun terlelap.

Hari ini, 4 bulan sudah pertemuan singkat nan misterius dengannya di hotel setiap minggunya terjadi. Dan hari ini aku sangat bersemangat, karena hari ini adalah hari minggu jadi bisa dipastikan malam nanti ia akan datang kembali ke hotel. Ternyata benar saja, saat itu aku sedang merokok di luar pantry yg terletak dekat dengan ladies parking. Sengaja memang aku merokok disana, dengan harapan bisa bertemu dia sedikit lebih lama dibandingkan jika hanya bertemu esok pagi ketika membersihkan kamarnya. BMW itu pun terparkir dan ku lihat dia turun dari mobil dengan pakaian sedikit berantakan dan wajah yang lusuh. Tertatih dia berjalan menuju tangga ke lobby hotel, sepertinya dia mabuk.

“Mbak, mau ke lobby? Kok jalannya sempoyongan gitu mbak?” tanyaku khawatir.
“Eh... Hehehe... Si mas, ada apa tanya – tanya?” jawabnya.

BRUKK….

Tiba – tiba dia jatuh menghantam lantai tangga. Aku dengan sigap langsung memapahnya ke lobby. Ia pingsan, mungkin sudah terlalu mabuk.

“Tina! Tolong dong kunci kamar 206. Kosong kan?” tanya ku ke Tina, resepsionis hotel.
“Eh itu orang knapa Dan?? Pingsan???” tanya Tina kaget.
“Iya! Cepet dong… Kasian nih… Dia yang biasanya check in di 206. Tadi waktu naik ke lobby dari parkiran dia pingsan di tangga”

Akupun bergegas ke lift dan membawanya ke kamar 206. Ku baringkan tubuhnya di kasur, ke nyalakan AC dan ku siapkan selimut serta peralatan standard bagi tamu. Lalu ku seduhkan teh hangat untuknya. Dan aku meninggalkan kamar dengan penasaran dan penuh pertanyaan. Apa yg membuat dia seperti itu? Selama ini kulihat dia adalah tipe wanita independen yang tegar. Tapi sudahlah, itu privasi dia. Aku bukan siapa – siapa, meski aku peduli padanya. Selama ini aku hanya bisa membereskan kamarnya yang tidak pernah berantakan ketika dia check out sebagai kewajiban juga satu – satunya hal yang bisa ku laukukan itu wanita pujaanku. Namun, malam ini berbeda. Tuhan menjawab doaku dengan memberikan kesempatan untukku berbuat lebih dari sekedar membereskan kamar dan membawkan tas bawaannya. Meskipun semua ini tidak membuatku merasa lebih baik karena dia harus terbaring di kamar dalam keadaan mabuk.

Dia (Part 1)


“Pagi mbak…!” sapaku ramah.
“Pagi mas!” balasnya sambil tersenyum.
“ Biasa nih mau ngantor?” tanyaku memastikan.
“Iya nih, biasa lah..Kerjaan udah numpuk. Hehe…” jawabnya sambil tersenyum.

Percakapan pendek pagi tadi masih terkenang sampai sekarang, padahal percakapan itu terjadi hampir 5 jam yang lalu. Aku menghela nafas lalu berkata dalam hati betapa anehnya perasaan ini. Sesuatu yang sangat tidak biasa untuk hatiku juga untuk hidupku yang kecil.

“Woi! Bengong aja lo Dan!!” suara Andri, sahabatku memecah kesunyian.
“Eh iya, sori bgt! Jadi kita mau makan??”
“Boleh! Padang aja ya?? Duit gue tinggal 20 ribu buat hari ini.” Andri mengusulkan.
“Ayo dah..Lagian juga deket kok! Biar ga telat balik ke kantor.”

Sepanjang perjalanan kami kembali ke kantor, pikiranku mulai berkelana lagi kembali kala pertama aku bertemu dengan wanita itu. Pagi itu hanyalah pagi biasa, aku datang ke kantor pukul 6.30 dan langsung bergegas mengambil peralatan untuk kerja dan mulai mengecek satu per satu ruangan di lantai dua.

“Tok tok tok…permisi... Room service.”
“Iya silahkan. Buka aja, ga dikunci kok!” sahut suara wanita dari dalam kamar 206.

Akupun masuk dan mulai membereskan ruangan tersebut. Betapa aku bersyukur karena datang lebih pagi hari itu, karena aku tak akan mungkin melihat wanita itu jika aku terlambat 15 menit saja. Benar – benar pemandangan indah melihat wanita itu dengan serius dan sigapnya berkemas. Rambutnya yang tergerai hitam, wajahnya yang bulat dangan lesung pipi yang menambah manis wajahnya benar – membuat aku bersyukur pagi itu.

“Sudah mau check out, mbak?” tanyaku berusaha memecah kesunyian
“Iya nih, saya buru – buru mau ke kantor” jawabnya sambil berlalu keluar ruangan.

Akupun ikut turun sambil membawakan barang – barang wanita tersebut. Percakapan pagi itu merupakan awal dari percakapan – percakapan berikutnya, termasuk percakapan tadi pagi. Kami kembali berpapasan tadi pagi ketika seperti biasa, wanita itu check out sekitar pukul 6.30 setelah menghabiskan minggu malamnya di hotel tempatku bekerja.

“Oi..lo bukannya mesti nganterin bunga ya ke 201? ” Andri mengingatkan.
“Oh iya!aduh gue lupa..” aku bergegas ke florist.
“Bengong aja sih lo... Kesambet ntar!” Andri meledek.

Akhirnya, setelah hari yang melelahkan aku kembali ke rumah kontrakanku. Ku lempar tubuh lelahku ke kasur. Masih aku membayangkan pertemuan – pertemuanku dengan wanita yang hingga kini ku tak tau namanya itu.


Selasa, 20 Juli 2010

Aku Hanya

Aku hanyalah manusia biasa
Lemah dan tak berdaya, menjalani hidup apa adanya
Kini ku ingin kau mendengar dan mengerti
Ku tak butuh harta, ku hanya ingin tertawa
Ku tak mau rantai mengikatku,
yang kungin cinta yang melindungiku
Ku tak perlu cinta untuk dimiliki
Ku hanya ingin hati untuk berbagi

By: Harris Kristanto

Aku Diam

Aku diam
Aku diam karena tak mau bicara
Aku diam karena tak ingin bersuara
Aku diam karena tak tak tahu harus apa
Aku diam tanpa kehidupan
Aku diam dan hanya diam

By: Harris Kristanto

Akulah ini

Akulah karang yang berdiri tegar menentang gelombang
Tanpa kau tahu, aku mengerang kesakitan
Akulah tanah, dengan gagah menopang dan tanpa lelah memberi
Tanpa kau sadari, aku telah kau racuni

Akulah bulan, dengan anggun menerangi
dengan indah kau puja puji
Tanpa kau sadari, aku terlupa ketika mentari ada

Akulah pemujamu yang selalu setia menunggu
Tanpa pernah kusadari bahwa kau telah melupakanku

by: Harris Kristanto

Kamis, 10 Juni 2010

Tuhan, Tolong

Petir menyambar hutan itu
Hutan resah yang gelisah diterjang air, kemana air?
Petir terus mengejar hutan
Hutan yang sekali lagi gelisah disusul badai
Angin mulai ribut menyusul petir
Petir bergeming tiada tengok sampai hutan
Sampai hutan menangis menahan perih
Perih yang menghujam hutan sampai ke akar
Hutan tak sanggup, tak sanggup
Ia ingin pergi tapi tak sanggup
tak sanggup berlari dari kejaran petir, angin, dan air
Bagaimana ini?

Hutan pun diam saja
Entah apa ini, apa ini?
Hutan mengerang mengaduh kesakitan untuk kesekian kalinya
Ia disakiti berkali-kali oleh alam
Alam tak pandang bulu untuk menyakitinya
Alam tak tahu apa hutan merasakan sakit, ketakutan, perih, tertindas...

Tuhan, tolong aku
Hutan menangis merintih kesepian
Tak ada kawan pepohonan menemaninya
Tolong Tuhan, sadarkan manusia
Manusia-manusia pelupa yang pura-pura ingat
Manusia-manusia pelupa yang mengingkari janjinya
Tuhan tolong, tolong ingatkan kami

Tertanda,
Manusia.

Rabu, 26 Mei 2010

Desakan Jeritan

Riuh rendah terdengar jeritan
Suara-suara jeritan wanita
Jeritan merdu tak terkira hati
Kiranya mungkin wanita

Jeritan tajam itu menusuk hati
Menusuk menyingkap kalbu
Rasa hati dan mulut ternganga
Meluas serentak jantung

Jantung-jantung yang hampir bertebaran
Mungkin salah jeritan itu
Jeritan yang tak hiraukan bulan
Menembus sunyi lewati malam

Malam ini belum berakhir merdu
Jeritan ini masih bernyanyi
Bernyanyi lepas andaikan suara
Suara rintihan jiwa terkapar
Jeritan yang risaukan hati, milik siapa?

Hidup Punya Bunga Layu

Bunga layu tak berkehendak
Tergolek lemas terlihat mesra
Meski duri-duri tajam menyingkapnya
Tak letih pula tertusuk durinya

Bunga layu tersiram air jatuh dari langit
Air deras yang tak tertahan lajunya
Bunga layu akhirnya jatuh terinjak air
Air-air yang datang tiba-tiba

Bunga layu tak berdiri
Berdiri tersirat lanjutkan makna
Makna yang layak lanjutkan hidup
Hidup siapa punya bunga layu ini

Selasa, 13 April 2010

Senandung Tuhan

Lagu itu mengalun merdu
Sayup-sayup mesra
Terdengar ringan tanpa batas
Mengantarkan manusia sejenak pada surga

Lagu itu selalu terngiang
Dalam pekatnya malam tak pernah berhenti
Indahnya yang mampu menusuk hati
Tak ada seorangpun yang sekiranya membantah

Lagu itu senandung pujian
Senandung yang selalu bernyanyi
Senandung yang tanpa aba-aba
Senandung merdu kepada Tuhannya

Kamis, 08 April 2010

Tong Kosong yang Melaju

Jalanan itu sepi tak bersuara
Walaupun bersuara tapi tak beranjak tenang
Tenang-tenang diam itu tetapi mengganggu
Seperti tong kosong yang dilempar

Tong kosong itu lalu menggelinding
Menggelinding tenang dengan suara besar
Suara yang memalingkan muka orang
Muka-muka yang mencibir namun diam

Namun diam itu tak selamanya semu
Diam yang berarti diam benaran
Diam seperti yang diharapkan orang banyak
Namun tong itu tak pernah diam sepanjang jalannya

Tong itu terus melaju entah kemana
Mungkin ke pesisir pantai yang berair
Atau ke tengah hutan yang liat
Bisa jadi ke atas gunung yang mati

Tong kosong itu melaju tanpa curiga
Tanpa perasaan mengerti akan kemana dia
Tong itu hanya mengikuti alur
Alur yang bodoh oleh yang mengaturnya

Sabtu, 03 April 2010

Mengharu, Meragu, Melebur

Ada semua yang mengharukan
Tentang pesona, hiruk pikuk, dan cinta
Ada semua yang meragukan
Tentang angin, alam, dan cinta

Semua berlebur semua
Semua citra yang mempesona
Meleburkan semua cinta
Tentang cinta-cinta yang meragukan dan mengharukan itu

Mengharukan tanpa air mata
Meragukan tanpa kerutan dahi
Melebur tanpa panas
Panas yang tanpa api

Meragukan memang
Semua yang tertulis di sini memang meragukan
Dan mengharukan apa adanya
Hanya satu yang tidak meragukan,
Cinta yang tidak mengharukan

Dua orang tentang hidup

Kehidupan ini menjemukan kata mereka
Hanya berdiam saja dan menunggu
Kehidupan ini menyebalkan kata mereka
Hanya bersenang-senang dan membuat dosa

Di luar sana, seseorang mengatakan tentang hidup
Hidup saya menyenangkan karena tetesan keringat
Hidup saya berbahagia karena suara riang mereka
Hidup saya indah karena itu

Namun, orang pertama datang dengan mengucap
"Kau pendusta. Hidup ini omong kosong!"
"Hidup ini hanya membikin penyakit"
"Saya tidak suka hidup!"

Orang yang senang akan hidupnya hanya berkata,
"Silahkan pergi..."

Senin, 29 Maret 2010

Di dedaunan

Embun berembun di daun-daun
Embun tak jua pergi di daun-daun
Embun terus menemani daun-daun
Sampai daun tak memintanya lagi

Embun itu mengerti daun-daun
Embun selalu memahami daun-daun
Embun tak pernah meminta
daun-daun untuk setia

Namun suatu waktu
Daun-daun itu jenuh
Daun-daun itu ingin pergi
Daun-daun ingin embun pergi

Daun-daun tak mampu berkata kepadanya
Daun-daun tak ingin embun melebur menangis
Daun-daun tak sanggup
Daun-daun tak sanggup melihat embun menangis

Sampai embun tahu
Tahu bahwa daun-daun ingin pergi
Tahu bahwa daun-daun tak ingin bersama
Tahu bahwa daun-daun ingin jatuh ke tanah...

Minggu, 28 Maret 2010

Kaki-kaki yang Hancur

Banyak kaki yang berjalan di pinggir
Banyak kaki yang berjalan di tengah
Banyak kaki yang berjalan di pinggir
Banyak kaki yang tidak berjalan

Kaki-kaki itu mampu menopang badannya
Kaki-kaki itu mampu mencari hidupnya
Hidup yang seharusnya indah
Hidup yang seharusnya ada di sana

Dulu kaki-kaki itu masih tegak
Masih bisa berlari mencari jiwa lain

Dulu kaki-kaki itu laksana pedang samurai
Siap menghancurkan yang berani menghancurkan kaki-kakinya

Ketika itu kaki-kakinya sudah mulai menua
Kaki-kakinya sudah mulai tak sanggup menopang apapun
Kaki-kakinya sudah mengalami kehampaan
Kaki-kakinya mati rasa

Selesai sudah hikayat kaki-kaki itu
Kaki-kaki yang sangat dibanggakan
Kaki-kaki perlambang kekuatan
Kaki-kaki penerus jembatan

Benarkah kaki-kakinya telah mati?

Ada apa di sana

Di sana di situ
Terbuka pintu lebar, lebar sekali
Entah selebar apapun
Lebar sekali

Ku sisiri tempat itu dengan merasuk
Menjarah di sana di mana-mana
Melihat hanya dengan mata, hati, apa lagi?
Mata, hati, apakah tidak cukup?

Pintu itu masih terbuka lebar
Masih ada sinar-sinar tersisa di sana
Masih ada semerbak kehangatan
Masih ada isi dunia ini, isi galaksi ini

Perlahan pintu itu berkarat
Perlahan pintu itu meredup
Perlahan pintu itu tertutup
dan diam

Pintu itu berteriak, menangis, dan berkata
"Masih adakah yang mau memasuki pintuku?"
"Masih adakah yang mau? Membukanya pun mungkin tak mau"
"Habislah sudah aku ini"
"Habislah"

Pintu itu pun benar-benar mati
Mati benaran
Mati pun tak ada yang tahu
Mati pun tak ada yang mengasihani aku

Sabtu, 27 Maret 2010

Mata Dua

Mata dua, dua mata
Mata dua elang
Dua mata elang
Hilang
Hilang hilang hilang sejauh-jauhnya

Mata dua, dua mata
Mata dua ibu
Dua mata ibu
Ibu ibu yang satu dan ibu ibu lain
Ibu ibu yang setia dan ibu ibu tidak setia
Ibu ibu lain dan yang lain
Tidak bisa membuka kedua matanya

Mata mata
Mata mata itu
Mata yang perlu dan sangat perlu
Mata yang awas dan sangat awas
Mata yang indah bersinar berbentuk
Mata itu terpejam diam
Benar-benar diam

Matanya mataku matadia
Matanya sangat berharga katanya
Mataku sangat berharga kataku
Matadia sangat berharga kata dia
Mata kita

Mata kita tertutup
Mata kita tak awas lagi
Mata kita melewatkan sesuatu,
KEADILAN

PEDANG (Sharp Sword)

Tak sangka jua pedang dipandang,
Diangkatnya pedang itu tinggi-tinggi,
Dihunuskannya itu ke itu,
Terlalu bermakna untuk diucap,
Lewatlah, lewatkanlah sudah seribu nyawa itu,
Nyawa yang selalu dianggap dewa,
Dewa Dewi, Dewa Siwa, Dewa kematian,
Dewa Dewa yang tak pernah terpikirkan olehnya,

Pedang itu mengancam semua,
Pedang itu selalu mengancam,
Pedang itu tak pernah henti,
Pedang itu tak pernah tenggelam,
Pedang itu tepat di tangannya
Pedang itu berhenti

Darah itu mengalir,
Darah itu mengalir,
Darah itu mengalir deras,
Darah itu berlari kencang,
Darah itu tak henti bergerak,
Darah itu berhenti

Mata itu terbuka,
Mata itu membelalak,
Mata itu kaku,
Mata itu telah kaku,
Mata itu berhenti

Sang pedang pun terjatuh,
mengambil kembali kehormatannya yang dicuri,
dicuri oleh mata-mata kaku yang terbuka, membelalak, dan telah berhenti itu,
Pedang pun tersenyum

Selasa, 23 Februari 2010

Keajaiban Diri part 2

Jadi kesimpulan dari posting saya sebelumnya adalah, bahwa jangan pernah menyerah meskipun jalan terang yang sesungguhnya baru datang padamu di akhir perjuangan. Saya percaya bahwa Allah tidak pernah tidur, Dia pasti mendengar semua doa hambaNya. Dia pasti mengabulkan doamu walaupun dalam jalan yang bukan engkau harapkan.

Tapi sebenarnya itu adalah yang terbaik untukmu. Jika kamu mau berusaha lebih keras lagi, pasti akan lebih worth it.

jadi, JANGAN PERNAH MENYERAH apapun situasimu!

Keajaiban Diri part 1

Assalamualaikum wr wb teman-teman yang dicintai Allah swt sekalian,
pada hari ini, tanggal ini, saya ngepost lagi. Mungkin bukan suatu yg penting sih, cuma saya lg seneng nulis :))

Kali ini, saya ingin ngomongin tentang keajaiban diri.
Sebenernya apa sih kelebihan kamu? Apakah kamu tahu kal
au di dalam dirimu itu terdapat banyak kelebihan? Di sini saya cuma mau sharing aja. Soalnya kadang-kadang saya pun merasa kalau saya tidak berbakat dalam hal apa pun (bahkan sampai sekarang ini).

Sejauh sejarah hidup saya sih, di lingkungan rumah, saya dikenal sebagai anak yang 'datar' dalam artian saya adalah anak yang baik-baik saja. Saya pikir semua orang di lingkungan rumah saya tahu kalau ke depannya saya akan menjadi apa. Ya itu tadi, anak yang baik-baik saja (masa depan cerah) amin. Karena di luar itu, kebetulan (alhamdulillah) tebakan mereka itu benar. Selama saya bersekolah, alhamdulillah saya selalu masuk di sekolah ternama di kota saya, Depok. Sampai puncaknya adalah saat sekarang saya kuliah di kampus ternama di Indonesia urutan pertama. Saya pun tidak tahu kalau orang-orang di lingkungan rumah saya ada (beberapa) yg menjadikan saya panutan (dalam berprestasi). Hehe bukannya ge er, cuma ngerasa aneh aja karena saya pikir saya tidak punya kelebihan apa-apa dibanding 'mereka' yg terkadang dilihat orang-orang sebagai 'anak yang biasa-biasa saja'. Di sekolah pun sebenernya saya adalah anak yang biasa-biasa saja. Bahkan cenderung bodoh. karena sialnya saya masuk kelas unggulan yg seluruh anak-anaknya pintar semua.

Pertama kali saya masuk ke kelas itu sungguh saya merasa minder seminder mindernya! (di sekolah, saya dikenal sebagai anak yang memiliki kemampuan akademis yang biasa-biasa saja).
Lalu pada awalnya saya merasa pasrah, saya berpikir apapun usaha saya, bagaimanapun saya mengubah cara belajar saya, saya tidak akan pernah menang melawan 'mereka'. Kelas 2 SMA itu saya habiskan dengan bermain saja. Belajar pun sedikit. Mengerjakan PR di sekolah. Tanpa sadar saya terintimidasi oleh pikiran saya sendiri. Saya menyerah kalah sebelum bertanding.
Saya memikirkan itu dalam-dalam, pikiran saya jauh ke depan. Saya harus berpikir jauh ke depan meskipun masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan untuk bermain-main. Pada akhirnya saya sampai pada suatu keputusan saya: SAYA TIDAK AKAN MENYERAH!!

Saya pun memanggil guru privat khusus matematika dan kimia (horor). Saya berusaha untuk mengerti dan belajar giat untuk memahami kedua pelajaran ini. Pada masa-masa yang 'berat' itulah saya akhirnya menyukai pelajaran kimia, karena saya menganggap bahwa kimia lebih menyenangkan dibanding matematika.

Kesadaran itu terus berlanjut sampai saya kelas 3. Beruntung saya memiliki orang tua yang perhatian yang mampu membimbing saya meraih masa depan cerah. Meskipun pada akhirnya saya di 'paksa' untuk masuk PTN unggulan di kota Depok. Saya terima tantangan itu. (soalnya waktu itu mama bilang kalau saya nggak bisa masuk UI saya harus putus sama pacar saya pada waktu itu. Hihi)

Saya dibimbing dari mulai memilih bimbel yang berkualitas, sampai mengantar saya kemana-mana saat saya ada ujian masuk universitas negeri. Saat belajar di bimbel, saya rela menginap di situ untuk belajar (walaupun pada akhirnya tengah malam ketiduran).

Oh ya, pada saat itu saya bersikukuh untuk tidak melenceng dari jurusan saya, ipa. Saya sangat berniat untuk masuk ke Fakultas Kedokteran Gigi UI. Karena saya pikir profesi itu sangat menyenangkan, karena tidak perlu membedah perut orang lain. Selain itu, saya bisa mengambil spesialisasi kedokteran gigi bidang kecantikan :))
Tapi impian itu kandas di tengah jalan. Saya tidak punya keberanian masuk fakultas yang sangat diidam idamkan oleh banyak pelajar itu. Saya merasa saya tidak pintar pelajaran IPA kecuali kimia. Saya tidak sanggup untuk menghafal biologi, saya tidak bisa menghitung matematika ipa, saya tidak bisa mengerjakan soal-soal fisika sekalipun itu gampang.

Akhirnya saya putuskan untuk mengambil jurusan Teknik Lingkungan UI sebagai pilihan pertama. Namun lagi-lagi saya merasa saya tidak mungkin bisa kuliah di jurusan itu. Sekali lagi, karena saya tidak bisa pelajaran matematika, biologi, dan fisika. SAYA MENYERAH di jurusan IPA kawan. Akhirnya saya berkonsentrasi pada pilihan ke-3 saya, Sastra Perancis, meskipun Ayah saya tidak senang kalau saya mengambil jurusan itu. Di saat -saat kritis menjelang ujian masuk UI, saya baru sadar kalau saya lebih menyukai pelajaran sosial daripada eksak. Tuhan...

Tapi Allah tidak tidur, Ia mendengar doaku. Aku akhirnya berhasil masuk UI meskipun bukan di fakultas yang aku impikan. Bahkan aku tidak pernah membayangkan akan masuk fakultas ini.
Mama, ialah orang yang berperan dalam berhasilnya aku masuk ke kampus impian itu. Jurusan yang aku diterima adalah pilihan mama. Saya tidak mengerti sama sekali apa itu jurusan perpajakan. Pilihan mama tidak pernah salah. Ternyata banyak orang yang berhasil di jurusan ini. Mulai saat itu saya berniat dan bertekad tidak akan mengecewakan mama. Meskipun nanti bukan gelar strata yang aku peroleh, aku berjanji akan membuatmu bangga suatu hari