Followers

Minggu, 25 Juli 2010

Dia (Part 5)

Malam pun semakin mendekati pagi, aku bisa merasakan kantuk sudah menggelantungi mataku. Namun dalam hati ini ada bisikan yang menahan ku untuk tetap terjaga. Kedatangan dia malam tadi benar – benar janggal. Momen itu tak bias lepas dari rekam ingatanku. Setelah memantapkan hati, aku memutuskan untuk naik ke kamar tempat dia menginap untuk mengetahui keadaaan dan mengobati rasa khawatirku.

Ukiran besi berwarna emas bertuliskan “206” itu akhirnya ada di hadapanku. Meskipun samar – samar, dari celah pintu aku mengintip. Ternyata ruangan itu gelap gulita. Tak ada satupun lampu di dalam kamar yang menyala. Gemetar namun penuh keyakinan perlahan ku raih gagang pintu berusaha membukanya. Ternyata tidak terkunci. Begitu pintu itu terbuka, tercium bau amis darah yang sangat menyengat. Dengan susah payah, ku cari saklar lampu. Betapa terkejutnya aku, ketika kulihat dia tergeletak diatas kasur dengan bersimbah darah dan barang – barang berserakan. Meskipun hanya melihat di TV, aku langsung mengecek denyut nadinya. Lemah. Dia sekarat. Bergegas ku cari pesawat telp untuk memanggil staff yang lain.

“Tina! Ini Dani! Tolong dong kirim orang nih ke kamar 206... ada tamu yang sekarat nih.”
“Ah yg bener, dan?! Jangan bercanda ah!” Tina tidak percaya.
“Iya! Buat apa sih gue bercanda jam segini. Ga ada untungnya tau! Tolong ya cepat! Oh ya! Hubungi ambulans juga ya.” Aku mengakhiri pembicaraan.

Apa yang terjadi dengan dia? Mengapa sampai begini? Apakah pria tadi berniat membunuhnya? Ah! Benar – benar malam yang penuh pertanyaan. Tak lama kemudian Tina, Bapak Yoga, manager kami dan beberapa rekan Room Boy tiba. Kami memutuskan untuk membawa dia ke rumah sakit. Aku memutuskan untuk ikut menemani dia.

Perjalanan ke rumah sakit kami tempuh hanya dalam 10 menit karena kondisi jalan yang sangat sepi. Para petugas jaga IGD dan ambulans langsung membawa dia ke ruang IGD. Sedangkan aku menuju meja administrasi.

“Selamat malam mbak, saya mau daftarkan pasien”
“Oh! Yang barusan datang ya mas?”
“Iya mbak, tapi saya bukan keluarganya. Dia tamu hotel tempat saya bekerja.” Tanyaku khawatir tentang administrasi dia.
“Gak apa – apa mas, yang penting ada data aja dulu.” Jawab suster menenangkanku.
“Oh begitu ya mbak, oke deh. Nanti saya lengkapi datanya dari hotel ya mbak?” Tanyaku.
“Bisa, tapi sekarang boleh saya tau nama mas dan pasiennya?”

Pertanyaan suster barusan mengagetkanku. Berbulan – bulan aku tak pernah berani menanyakan nama dia. Dan sekarang aku tak bisa membantu dia hanya karena tidak tau nama dia.

“Saya Dani Darmawan, pasiennya......” Jawabku ragu.
“Siapa mas nama pasiennya?”

Bersambung...

Tidak ada komentar: