Followers

Jumat, 30 Juli 2010

Biarlah Aku Memelukmu Lagi

Aku terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit. Tempat tidur yang tak kurasa hangat sama sekali. Meskipun aku sudah memakai baju hangat dan selimut tebal dengan bau khas rumah sakit, aku tetap merasa dingin. Mataku terpejam, tapi aku bisa merasakan dan mendengar suara-suara orang-orang yang berbicara, melantunkan doa, dan tangisan. Tunggu, aku tahu suara tangisan itu siapa itu. Suara yang lemah, parau dan terdengar menyakitkan. Istriku. Ya benar, tak salah lagi itu pasti suara istriku. Istriku sayang, kenapa kau menangis? Aku ada di sini sayang, tepat di depanmu. Aku berusaha memegang istriku, tapi gagal. Istriku tak tersentuh, dan ia tetap menangis.

Ya Tuhan, ada apa denganku? Mengapa aku tak bisa menyentuh orang yang kucintai?

Aku berdiri di sudut ruangan berusaha memegang benda-benda yang ada di sekitarku. Aku berusaha menjatuhkannya untuk membuat suara, tapi gagal. Aku tertunduk dan merapat sampai akhirnya aku jatuh terduduk. Aku menangis. Ya, aku menangis. Hal yang tak pernah aku lakukan sebelumnya, apalagi di depan istriku.

Hari demi hari aku lewati di rumah sakit. Setiap hari aku melihat tubuhku yang terbaring di atas tempat tidur. Aku ingin kembali ke dalam tubuhku. Tapi saat aku mencoba masuk, aku seakan ditolak oleh tubuhku sendiri. Berulang kali ku mencoba tapi selalu gagal. Aku gagal masuk ke dalam tubuhku sendiri.

Ingin rasanya aku mencakar tubuhku sendiri, tapi tentu saja tak bisa. Aku tetap sendirian di sini.

Aku tak tahu makhluk apakah aku ini. Berwujud tapi tak seorangpun dapat melihatku. Aku bisa berbicara dan mendengar, tapi orang lain tak pula dapat mendengarku. Bahkan aku bisa menangis. Tangisan pilu yang tak ada seorangpun tahu kalau aku menangis. Meskipun di satu sisi aku senang juga karena tak ada seorangpun yang tahu aku menangis. Karena aku tak ingin terlihat lemah dengan tangisanku.

“Kreeeek...” suara pintu terbuka. Pukul 10.00, aku yakin itu pasti istriku yang datang. Benar saja, istriku datang membawa semangkuk bubur ayam yang hangat. Ia duduk di kursi yang menghadap ke arah tempat tidur lalu membuka tutup mangkuk itu. Ia menyendokkan sesuap bubur dan menyuapkannya ke arah mulutku. Bibirku tertutup rapat.

“Sayang, kau belum sarapan kan? Ayo makanlah dulu bubur ini.” Istriku menodongkan sendok bubur itu ke mulutku. Namun aku diam, mulutku tetap tertutup rapat.

Lama sekali tangan istriku diam mematung dengan sendok buburnya di depan mulutku. Kulihat ia menangis. Air matanya jatuh setetes demi setetes masuk ke dalam bubur itu. Matanya sembab, buburnya telah berair. Istriku menurunkan tangannya dari mulutku. Dengan matanya yang masih mengeluarkan air mata. Ia terus memandangku. Tatapannya sendu sekali seolah banyak beban yang dirasakannya. Ia memegang tanganku dengan erat dan menciumnya. Hangat sekali, seolah aku bisa merasakan hangat ciumannya di tanganku.

Aku berdiri di belakangnya, berusaha memegang rambutnya dan mengelusnya. Aku peluk dia dari belakang saat ia berdiri. Tak tersentuh. Aku merasa sakit sekali. Aku memegang dadaku. Sungguh sakit rasanya tak bisa memeluk istriku sendiri. Lagi-lagi aku menangis. Tuhan...

Aku lelah seperti ini. Kenapa kau beri aku keadaan seperti ini Tuhan? Aku tak sanggup, sungguh aku tak sanggup melihat istriku setiap hari menangis untukku. Kembalikkan aku ke tubuhku Tuhan! Tolong kembalikan aku! Aku ingin memeluk istriku lagi untuk kedua kalinya...

Kedua kalinya? Tunggu sebentar. Apakah aku pernah memeluknya?

Aku ingat-ingat dulu... kapan terakhir kali aku memeluknya?


Bersambung...

2 komentar:

Unknown mengatakan...

motong endingnya agak kurang greget, sdikit klewatan klimaksnya.... great start... cerita cinta yg ckup menyayat.. sedih namun ttp dewasa...

matakata mengatakan...

i've learned from that. thanks for the advice. hehe